Janji Bagi
Nusa Bunga
Bahana tepukan tangan para
penumpang memungkasi manuver Wings Air di langit Danau Kelimutu. Perlahan
telaga biru, hijau, dan hitam itu pun menghilang dari bingkai jendela pesawat. Wajah-wajah
memamerkan rona sukacita setelah atraksi gratifikasi sang pilot. Sebuah kejutan
yang jarang terjadi. Tanpa sadar, bulir cahar bening merembes dari dua sudut
mataku.
Tidak, saya tidak sedang
dirundung melankolia karena meninggalkan keluarga atau tanah leluhurku.
Sebaliknya, saya diliputi kebanggaan serta ketetapan hati. Saya semakin tahu
jati diriku.
Keluarga kakek dari pihak ayah berasal dari Ende, Flores bagian tengah. Ayah sering berkisah
tentang masa remajanya disana dan tak lupa mengingatkan saya agar melihat kota
yang pernah didiami Soekarno pada masa penjajahan Belanda tersebut sebagai akarku.
“ Nama Luis yang kau sandang itu adalah penghormatan untuk kakekmu. Kau orang
Ende, penjunjung mahkota Flores,” begitu katanya. Yang dimaksud ‘mahkota Flores’
oleh ayah tak lain adalah Danau Kelimutu yang keelokannya telah menjagat itu.
Tapi ayah tak hanya
memegahkan Ende saja, ia juga punya segudang cerita lain mengenai Flores. Tentang
kampung tradisional favoritnya yang berdekatan dengan sungai berair panas di
Bajawa, penggembalaan kuda di padang sabana Nagekeo, biawak purba Komodo nan
legendaris, sawah berbentuk sarang laba-laba Manggarai, prosesi religius
warisan bangsa Portugis yang lestari di Larantuka, dan perburuan ikan paus oleh
penduduk Lamalera. Jika dirunut, ayah seperti membuat daftar Tujuh Keajaiban
Dunia versinya sendiri. Lima tahun lalu ketika tabunganku cukup untuk
mengongkosi sebuah perjalanan panjang, saya memutuskan untuk berkeliling Flores.
Sendirian.
(Cuplikan artikel saya ini dimuat di Majalah National Geographic Traveler Indonesia edisi bulan Juli 2013 sebanyak 4 halaman. Valentino Luis)
Lebih lanjut, silahkan cek ke:
Comments