Travel Fotografi - Maret 2014




Sesaji bagi
Ruh-Ruh Telaga Warna

Ritual di puncak mistis Kelimutu. Sebentuk aksi untuk menghormati leluhur juga ajang pertemuan komunitas adat suku Lio Ende.





Ada yang beda jika berkunjung ke Kelimutu, Flores, di bulan Agustus. Tiap tahun, tepatnya tanggal 14 Agustus, para kepala adat beserta penduduk dari belasan persekutuan adat suku Lio Ende berduyun-duyun mendaki ke puncak Gunung Kelimutu untuk mengadakan ritual khusus.

Ritual ini bernama Pati Ka Dua Bapu Ata Mata, yang acapkali sebutannya dipersingkat menjadi Pati Ka. Secara harfiah upacara ini berarti memberi makan kepada para leluhur yang telah meninggal, atau sesajen bagi arwah nenek moyang.

Menurut keyakinan orang-orang Lio Ende yang merupakan suku asli disana, leluhur mereka berasal dari gunung setinggi 1640 meter dpl ini. Dari sinilah cikal bakal belasan masyarakat adat (Lakitana) yang kemudian tersebar ke berbagai wilayah Kabupaten Ende.

Seperti di Jawa, orang Lio Ende pun menempatkan Gunung Kelimutu sebagai bagian penting kosmologi mereka. Hingga kini, segala fenomena sosial kemasyarakatan masih kerap dikaitkan-kaitkan dengan Kelimutu.

Seperti yang sudah diketahui secara umum, terdapat tiga danau yang saling berapitan di atas gunung itu dan memiliki warna-warna yang berbeda. Dan ajaibnya lagi sering terjadi perubahan warna. Nah, perubahanan ini acapkali dijadikan pertanda akan terjadinya hal-hal besar, misalnya bencana atau peristiwa yang berdampak pada kehidupan masyarakat luas.



 


Di puncak gunung berdiamlah roh leluhur, yang dinamakan Konde Ratu. Roh inilah yang menjaga Kelimutu dan ketiga danau sebagai tempat bagi arwah-arwah yang meninggal. Untuk arwah para muda-mudi menempati danau tengah ‘Tiwu Nua Muri Koo Fai’, diapit danau bagi arwah orang tua ‘Tiwu Ata Mbupu’ sebelah barat, serta danau untuk arwah orang jahat dan tukang tenung ‘Tiwu Ata Polo.’




Pegelaran ritual Pati Ka ini diperuntukan bagi Konde Ratu dan arwah-arwah yang berdiam di Kelimutu tersebut, sebab mereka dianggap sebagai penjaga alam dan memiliki hubungan dekat dengan Sang Pencipta. Pati Ka juga merupakan upacara komunal dimana  masyarakat Lio Ende terutama generasi muda diharapkan tidak melupakan asal usul, sekaligus bersilahturahmi dengan keluarga dalam suku besar mereka.         

Dengan dukungan pemerintah dan jawatan terkait, Pati Ka kini masuk dalam agenda tetap festival budaya Kabupaten Ende. Sungguh beruntung jika penyuka fotografi berkunjung ke Kelimutu saat ritual tersebut dihelat, karena dapat memotret banyak hal selain Danau Kelimutu. Apalagi cuaca bulan Agustus terbilang sangat bagus.

Mengikuti Jalannya Ritual
Kesibukan menjelang upacara sudah tampak sehari sebelumnya. Baik persiapan lokasi untuk pertemuan masyarakat ulayat maupun pembersihan tempat persembahan sesajen yang dinamakan ‘Tubu Musu’. Senja hari beberapa kepala adat, bergelar ‘Mosalaki’, naik ke puncak gunung untuk memastikan keadaan dan bersemedi.

Keesokan paginya masyarakat berbondong-bondong menujuh Kelimutu. Ada 15 grup yang mewakili 15 kelompok adat dari berbagai desa dan kecamatan. Tiap kelompok hadir dengan pakaian tradisional. Kaum perempuannya memakai ‘Lawo Lambu’ dan para pria mengenakan kain tenun hitam ‘Ragi Mite.’






Setelah semuanya berkumpul, para Mosalaki meminta izin secara simbolis kepada pemerintah untuk mengadakan ritual adat dengan menyerahkan kain tenun. Lantas mereka memimpin penduduk berjalan kaki sejauh kurang lebih 400 meter menujuh tempat pembagian jatah sesajen atau disebut ‘Bage Fii’. Di tempat ini makanan berupa nasi (harus dari beras sawah), daging babi, dan arak dibagikan kepada masing-masing Mosalaki.

Lantas para Mosalaki masuk ke area Tubu Musu, tanpa ditemani lagi oleh siapa-siapa. Suasana menjadi mistis dan hening. Mereka duduk melingkari Tubu Musu. Penduduk dan pengunjung hanya boleh menyaksikannya dari radius beberapa meter di luar area.

Mosalaki yang paling tua kemudian menyampaikan serangkaian kalimat doa dan memimpin rapat singkat. Sesajen pun diserahkan. Tuntas dengan penyerahan makanan, salah satu Mosalaki berdiri di tengah Tubu Musu dan mulai mendendangkan syair-syair pujian bagi para roh, kesuburan bumi, dan kemakmuran. Nyanyiannya diikuti oleh tarian ‘Gawi,’ berpegangan tangan, menghentakkan kaki seirama mengelilingi Tubu Musu.

Usailah ritual Pati Ka. Penduduk dan pengunjung kemudian diundang ke tempat kumpul awal untuk makan bersama sambil dihibur oleh sejumlah atraksi tarian. Terasa sekali nuansa kebersamaan disini.


Valentino Luis (Copyright)
***
Cuplikan artikel ini dimuat di Majalah TRAVEL FOTOGRAFI edisi Februari 2014
Lebih Lengkap, silahkan disimak di:

Comments

Popular posts from this blog

Travelxpose Magazine - Februari 2014

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler- Juli 2012

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler - Desember 2012