Lion Mag (Inflight Magazine LION AIR) - April 2014
April
di
Larantuka
Teks & Foto VALENTINO
LUIS

K
|
apela itu bernama Tuan Ana.
Sedangkan patung di depannya tak lain merupakan patung Bunda Maria memangkuh raga
mati Isa, Sang putra. Kini saya berdiri tepat di hadapannya. Bagi saya
pemandangan ini memiliki daya pikat tersendiri, terlepas dari sensasi 3
dimensi, bermula dari sebuah foto kemudian beralih ke penglihatan langsung.
Larantuka adalah kota di
ujung timur Pulau Flores, identik dengan sejarah penjelajahan bangsa Portugis. Tidak
banyak yang tahu bahwa Larantuka dulunya berbentuk kerajaan, yang jauh sebelum
kedatangan orang Eropa ia telah aktif melakukan perniagaan dengan
kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara. Dalam lafal Portugis kota yang tak
seberapa luas ini disebut Larantuque sedangkan penduduknya berjuluk
Larantuqueros.
Masuknya Portugis pada awal
abad ke XVI mengubah iman orang-orang setempat, dari semula animis menjadi
Katolik. Raja Larantuka dibaptis menggunakan gelar Diaz Vieira de Godinho yang
disingkat DVG. DVG ini dalam istilah Portugis bermakna ‘Pelayan Allah’. Dalam
menjalanakan pemerintahannya, raja dituntut untuk membawa rakyat untuk hidup
seturut kehendak Tuhan.
Larantuka
punya dua julukan popular yakni ‘Vatikan Kecil’ dan ‘Kota Rainha.’ Dikatakan
sebagai Vatikan Kecil lantaran ia punya sejumlah gereja, baik besar dan kecil
yang letaknya saling berdekatan. Bahkan suku-suku dalam kota ini pun memiliki
kapela pribadi. Mereka menamakannya ‘Tori’. Jumlahnya banyak. Jika masuk ke
lorong-lorong pemukiman, dengan mudah menemukannya karena dibangun di halaman
depan rumah. Tori-tori ini amat dijaga oleh para suku sebab di dalamnya
tersimpan benda-benda suci warisan Portugis.
Jangan
heran kenapa mereka memilikinya, sebab orang-orang Larantuka sama seperti
koloni Portugal lainnya, juga mengalami perkawinan campur. Mereka dinamakan Mestizos. Di Indonesia dan Malaysia
lebih dikenal dengan sebutan kaum Mardikas
atau Mahardikas. Ketika Melaka jatuh
ke tangan VOC Belanda tahun 1641 banyak ornamen-ornamen religius diboyong ke
Larantuka. Julukan sebagai ‘Kota Rainha’ merujuk pada pemujaan warga
kepada Bunda Maria sebagai ratu surga serta pelindung Larantuka. Kata Rainha,
dalam bahasa Portugis berarti ‘Ratu.’ Mudah dikenali, betapa cintanya
orang-orang disini kepada Bunda Maria.
FESTIVAL
SEMANA SANTA
Masih lestarinya pengaruh
budaya Portugis di Larantuka dapat juga ditemukan saat bulan April tiba. Warga
menghelat tradisi ratusan tahun, Semana Santa, yang merupakan rangkaian hari-hari
yang dikuduskan untuk mengenang kematian Al-Masih, menyongsong Hari Raya Paska.
Dalam waktu satu pekan warga berkabung dan berpuasa. Puncaknya yakni pada Hari
Juma’t atau Sesta Veira dimana
penduduk turun ke jalan untuk melakukan prosesi sakral mengelilingi kota dengan
simbol-simbol Katolik. Saat itulah patung Tuan Ma ditandu.
Inti prosesi ini yaitu
Bunda Maria, yang meratapi nasib anaknya yang menderita dan wafat di salib.
Semana Santa telah menyedot perhatian ribuan orang dari dalam dan luar negeri.
Selain nilai religinya, daya tarik prosesi ini adalah usianya yang melampaui
lima abad serta otentisitas ritualnya
yang tetap terjaga. Di banyak negara Semana Santa fokus pada Yesus, hanya di
Larantuka sosok Bunda Maria lebih disorot.
Penduduk dan para pelayat
dari luar Larantuka akan turun ke jalan dengan pakaian serba hitam, membawa
lilin yang digunakan sebagai penerang jalan. Di saat bersamaan mereka juga
berziarah ke makam-makam kerabat yang meninggal untuk menyalahkan lilin dan
mendoakan mereka. Suasana amat magis. Tanpa bunyi-bunyian, hening, seakan larut
dalam duka.
Acara pada Hari Jumat ini
berlangsung dari siang hingga subuh. Dimulai dari iring-iringan dengan puluhan
kapal yang membela laut, perarakan keliling kota, dan doa perkabungan di Katedral.
April di Larantuka telah menjadi kalender bagi para peziarah, pelancong, maupun
fotografer dunia.
DANAU
ASMARA
Puas dengan sejarah serta
tradisinya, saya kemudian menderukan sepeda motor sewaan ke wilayah utara
Larantuka, tepatnya ke Tanjung Bunga. Disana terdapat Danau Asmara yang katanya
masih sangat alami. Oya, Tanjung Bunga adalah tempat yang istimewa karena dari
sinilah nama Pulau Flores berasal. Frasa Tanjung Bunga jika diterjemahkan dalam
bahasa Portugis menjadi Cabo das Flores. Datang
bulan Januari hingga awal Maret, daerah ini berselimutkan kembang-kembang
Flamboyan merah. Konon, mekarnya Flamboyan itulah menjadi andil lahirnya nama
Flores.
Butuh waktu sekitar satu jam
untuk sampai ke Danau Asmara. Mula-mula menyusuri pesisir pantai, kemudian naik
ke bukit, lalu kembali menyusuri pantai di sisi berlainan lantas naik bukit
lagi. Walau tanpa petunjuk, tidak sulit menemukannya sebab hanya ada satu jalan
beraspal menujuh kesana dan semua orang yang saya temui tahu lokasinya.
Saya agak kaget sesampainya
disana. Danau ini dikitari pepohonan lebat dan sulit menggapai airnya karena
dia berada di cekungan. Jadi saya hanya bisa mengelilingi tebing yang berbentuk
cincin dan melihatnya dari atas. Tempatnya begitu sepih dan suara-suara burung
terdengar dimana-mana. Sesekali dahan-dayan pohon bergoyang karena tingkah
gerombolan monyet yang bergelantungan.
Nama danau ini mulanya
Waibelen kemudian berubah menjadi Asmara karena disini sepasang kekasih yang
tak direstui hubungannya melakukan aksi bunuh diri bersama. Kisah asmara nan tragis
yang mengingatkan saya pada cerita-cerita semacam Romeo dan Juliet.
RENYAH
KUE RAMBUT DAN JAGUNG TITI
Ole-ole khas Larantuka
adalah Kue Rambut dan Jagung Titi. Dua-duanya mudah ditemukan di pasar kota.
Khusus Kue Rambut, lebih baik berburuh saat pagi karena kebanyakan kue ini
cepat sekali ludes.
Kue Rambut. Namanya memang
agak aneh. Ini disebabkan bentuknya yang mirip rambut. Bahan utama kue ini
yakni tepung beras, gula merah, santan, dan air nira (atau gula merah). Kuenya
dibentuk saat digoreng. Caranya, terlebih lebih dahulu sediakan kaleng bekas
berukuran kecil yang bagian bawahnya dibuat lubang-lubang kecil dengan paku.
Adonan yang encer dituangkan ke dalam kaleng kemudian digoyang-goyangkan
sedemikian mungkin (kiri-kanan) membentuk garis-garis. Kemudian ambil senduk
dan kuenya dilipat selagi masih belum begitu kaku dalam penggorengan. Renyah
dan manis.
Beda lagi dengan Jagung
Titi. Ini mirip sekali dengan Cornflakes.
Biji jagung disangrai, dalam keadaan masih hangat, langsung dicacah satu
persatu hingga pipih bentuknya. Jagung Titi ini dijual per kilo, kadang juga
per mangkuk. Saya menikmati keduanya sembari menikmati langit senja, lagi-lagi
di depan kapela kecil beratap cendawan, dengan patung putih di samping kanannya.
Oh, saya ingin membuat foto terbaru tempat ini.
***
Valentino Luis (Copyright 2014)
Sebagaimana yang dimuat dalam Majalah LION MAG edisi bulan April 2014.
Comments