Majalah Batik (Inflight Magazine Batik Air) - April 2014





Meretas
Los Glaciares

Teks & Foto VALENTINO LUIS

Suhu berada pada level 10 derajat Celcius ketika fajar memaparkan rona-rona kemuning di ufuk timur kota El Calafate. Dingin tidak begitu mencucuk karena badan  nyaman terbuntal jaket tebal. Café con lecce -campuran kopi pekat dan susu panas- tuntas terteguk, dan sepenuhnya menyadarkan bahwa saya kini sedang berada di sisi  barat Negeri Tango, Argentina.

Kedatangan saya kesini adalah untuk mengunjungi Los Glaciares, sebuah kawasan lindung yang lansekapnya dibumbui pegunungan gahar berpuncak runcing serta gletser gigantis. El Calafate, tempat singgah saya ini, merupakan pintu masuk menujuh Los Glaciares. Dalam kamus dunia avontur, Los Glaciares masuk daftar ekslusif. Terpetakan secara geografis oleh Argentina sebagai bagian dari Patagonia - teritori yang dipandang sama sakralnya dengan Tibet bagi para pencinta alam dan kaum petualang.

Berukuran 726,927 ha atau dua kali luas Pulau Bali, Los Glaciares menyandang status sebagai Parque Nacional (Taman Nasional). Nama Los Glaciares sendiri terilhami oleh kuagulasi es di wilayah itu yang berdimensi amat lapang. Inilah tebaran es beku terbesar kedua di planet bumi setelah Antartika. Uniknya lagi, hanya disini bekuan es berada di ketinggian 1500 meter dpl, sementara tempat lain rata-rata baru dapat dijumpai di atas 2500 meter dpl. Terdapat 47 gletser, 13 diantaranya mengalir hingga menyentuh Samudra Atlantik.





Ditemani tiga tandem asal Jerman, saya meretas Los Glaciares dengan mengendarai sepeda motor. Untuk menjelajahi wilayah ini, sangat penting memperhitungkan masalah cuaca. Bagaimanapun, fenomena cuaca disini berbanding terbalik dengan wilayah utara Benua Amerika. Misalkan, Desember bagi Amerika Serikat adalah bulan yang dingin bersalju, namun di Los Glaciares orang-orang justruh menikmati langit biru, pepohonan hijau, dan hangat Matahari.

Sebagai area yang dilindungi habitasinya, keindahan Los Glaciares juga disokong oleh flora dan fauna khas Pegunungan Andes. Sebut saja Burung Rhea atau dalam bahasa Spanyol disebut Nandues, lalu Guanaco yakni llama berwarna cokelat, dan Rubah Kelabu. Mereka gampang sekali dijumpai berkeliaran dengan bebasnya.





PERITO MORENO GLACIER
Satu dari lokasi tumpukan es raksasa Los Glaciares adalah Perito Moreno Glacier. Tidak sulit menjangkaunya dari kota El Calafate, berjarak 80km ke arah barat, kurang dari dua jam menyisir tepian danau terbesar negeri itu, Lago Argentino, yang ketenangan airnya nyaris seperti cermin.

Perito Moreno Glacier disebut sebagai tumpukan es ajaib karena terus mengalami pertumbuhan. Tingginya saat ini 74 meter dpl, dan bagian bawahnya masuk hingga ke kedalaman 170 meter. Ia membentuk tebing putih dan jika diperhatikan, celah-celah tebingnya memancarkan warna biru yang aneh.

Untuk mengakomodir keleluasaan mengamati tebing putih nan hebat ini, dibangun tangga-tangga untuk pejalan kaki. Atraksi yang dinanti adalah melihat tebing salju terbelah dan runtuh. Kejadiannya nyaris sepanjang hari, tapi lebih sering saat menjelang sore sebab terjadi pemanasan dari pagi hingga siang. Kadang hanya serpihan kecil namun acapkali juga patahannya cukup besar sehingga terasa agak mengerikan, terutama jika terdapat kapal wisata dengan sejumlah penumpang berada di dekatnya. Apalagi tempatnya terbilang amat sunyi sehingga bunyi retakan pun bisa terdengar.

Pengunjung tidak diperkenankan untuk menginap atau berkemah di sekitar lokasi. Sehingga mau tak mau trip hanya berlangsung dari pagi sampai sore saja, padahal pemandangan di sekelilingnya amat indah selain tebing es itu. 



BERSEMUKA DENGAN FITZ ROY
Kendati Perito Moreno Glacier, satwa liar, sungai biru, dan alam yang sangat terjaga telah cukup membuat banyak orang terpukau, namun daya pikat Los Glaciares sesungguhnya terletak pada pilar-pilar gagah pegunungannya, terutama di bagian utara.

Monte Fitz Roy, demikian nama kumpulan gunung tersebut. Masing-masing puncaknya menjulang bak menara pencakar langit. Ada empat yang amat tersohor yakni Cerro Torre, Cerro Standhardt, Torre Egger, dan Punta Heron. Letaknya saling mengapit satu sama lain.

Fakta unik mengenai pegunungan ini yaitu puncak teratasnya, Cerro Torre (3128 meter dpl), yang ternyata tidaklah lebih tinggi dari Gunung Semeru (3676 meter dpl), tetapi diakui sebagai puncak gunung di dunia yang paling sulit dijangkau manusia, mengalahkan akbarnya Mount Everest di Himalaya. Jika dalam sehari puluhan orang bisa menggapai puncak Mount Everest, Cerro Terro cuma bisa disentuh titik tertingginya sekali setahun.


Ini masuk akal sebab nyaris keseluruhan badan gunung merupakan batu pipih terjal semata. Salju sepanjang tahun pun hanyalah sekedar siraman tipis karena akan luruh oleh licinnya dinding. Nama Fitz Roy baru disandangkan tahun 1877 sebagai bentuk penghormatan kepada seorang penjelajah perairan Patagonia, nama asli pegunungan ini adalah Cerro Chaltén, yang bermakna ‘Smoking Mountain.’ Penggila fotografi akan mendapatkan surga mereka disini karena bentuk gunung yang fantastis serta disempurnakan oleh elemen-elemen lingkungan yang fotogenik. Bila ingin mendapatkan bidikan yang fantastis, fajar maupun senja adalah waktu terbaik ketika cahaya kuning  matahari terpapar. Belum lagi dibumbui sejumlah danau mungil di kakinya.

Dari El Calafate, kami menempuh sejauh 220 km dengan berkemah selama empat malam di pinggir jalan. Bertemu dengan beberapa pejalan dengan gaya pelesir yang sama, membuat petualangan terasa lebih hidup. Desa El Chalten di kaki Monte Fitz Roy, menjadi basis berkumpulnya para pendaki gunung dan wisatawan. Sebelum mencapai desa ini, kembali saya dibuat kagum oleh danau maha luas saingannya Lago Argentino, bernama Lago Viedma.

Monte Fitz Roy digunakan oleh Argentina sebagai penanda batas dengan Chili, dan desa El Chalten pada mulanya dibangun untuk menjaga klaim atas gunung ini. Seiring meningkatnya arus pengunjung juga para pendaki gunung ke wilayah tersebut, El Chalten ditahbiskan sebagai ‘Argentina’s Trekking Capital.’

Sebutan sebagai pusat kota trekking bukanlah isapan jempol semata, puluhan jalur pendakian ke Monte Fitz Roy dipatok disini. Sangat variatif, sebab meski tujuan utamanya ke gunung itu namun topografi yang memesona melahirkan perspektif berbeda tentang Monte Fitz Roy. Jalur-jalurnya terawat baik, dengan level-level pendakian khusus, yang tiap titiknya senantiasa membawa orang pada visi yang baru, semangat yang baru. Saya mengagumi gunung ini, serta keseluruhan Los Glaciares. Ketika harus beranjak pulang, saya membawa nilai yang lebih dari sekedar menikmati keindahan semesta. Ya, itu tadi, visi dan semangat baru. 



***
Valentino Luis (Copyright 2014)
Sebagaimana yang dimuat dalam Majalah BATIK AIR edisi bulan April 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Travelxpose Magazine - Februari 2014

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler - Desember 2012

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler- Juli 2012