Lion Mag (Inflight Magazine LION AIR) - Februari 2014
Pulau
Rote
Pesona
dari Tapal Selatan
TEKS
& FOTO: VALENTINO LUIS
Langit biru menandai kecerahan hari di
dermaga Tenau, Kupang. Saya dan puluhan orang lainnya melangkah gegas menujuh
ferry cepat Bahari Express, sarana angkut yang akan membawa kami menggapai
sebuah pulau di titik terselatan Indonesia, Rote. Ferry yang berangkat tiap jam
9 pagi ini tiketnya seharga Rp. 150.000/orang.
Dua jam terbuai riak lautan, akhirnya
kami tiba di pelabuhan Rote, tepat di bibir pusat kota Ba’a. Rote terbentuk
sebagai sebuah kabupaten otonom sejak 2002. Sebelumnya ia bergabung dalam
pemerintahan Kabupaten Kupang. Dengan luas wilayah sebesar 1200km2 dan
beribukota di Ba’a, teritori Rote juga termasuk 96 pulau kecil yang
mengitarinya.
Setelah mendapatkan sepeda motor sewaan,
saya menujuh Termanu, sasaran pertama. Termanu cukup melegenda berkat dua buah
batu besar nan kokoh, Suelay dan Hun, yang konon pada jaman dahulu bisa
berpindah-pindah. Kedua batu tersebut terasosiasikan dengan kelamin pria dan
wanita. Keberadaan mereka dipandang mistis bagi penduduk setempat.
Masih tidak begitu jauh dari pusat kota
Ba’a, saya mengarahkan perjalanan berikutnya menujuh Pantai Tiang Bendera. Pemberian
nama Tiang Bendera dilatarbelakangi oleh peristiwa heroik perjuangan rakyat
Rote mengusir penjajah Belanda. Tempat ini sesungguhnya kumpulan batu karang
hitam di laut yang pada jaman dahulu dijadikan pos kontrol Belanda dengan satu
tiang dari beton yang dipasangi bendera. Ketika kekuatan Belanda mengendur dan
harus menyingkir dari Indonesia, penduduk berbondong menghancurkan pos kontrol,
lalu mengganti bendera Belanda dengan Sang Merah Putih.
Tiang Bendera diapit Batu Boloanak, gugusan karang tajam yang
memiliki cela-cela sempit serta menyimpan cerita menyeramkan karena disini banyak
warga yang dituduh pengikut PKI dibunuh dan dikuburkan secara massal. Serakan
karang-karang runcing menjadikan pantai di sekitar Tiang Bendera tampak
dramatis, terlebih menjelang terbenamnya matahari.
Pulau Rote lekat dengan pohon lontar.
Banyak produk makanan serta kerajinan yang bersumber pada lontar. Sebut saja
“Air Gula” dan “Gula Lempeng” yang dihasilkan dari sadapan nira. Kemudian ada
“Tii Langga,” topi khas pria Rote yang disebut-sebut sebagai salah satu topi
tradisional paling atraktif. Alkisah,
Tii Langga merupakan karya seni hasil kolaborasi antara penduduk setempat
dengan pelaut Portugal abad ke-16.
Produk kreatif dari lontar yang paling
terkenal yakni Sasando. Aplikasi alat musik petik ini telah ada di Rote sejak
abad ke VII. Dalam arti harfiah, Sasando bermakna benda yang bergetar. Cerita
rakyat Rote mengisahkan bahwa Sasando tercipta oleh seorang pemuda bernama
bernama Sangguana yang terdampar di pulau Ndana. Ketika dibawa penduduk
menghadap raja, Sangguana dan putrid raja
saling jatuh hati. Sebagai syarat
pernikahan, ia diminta menciptakan alat musik yang lain dari yang lain.
Sangguana menyanggupinya, dan lewat mimpi ia memperoleh cara untuk menciptakan
alat musik dari bambu serta lontar yang kemudian dinamakan Sasando.
Kunjungan ke Rote belum lengkap jika
tanpa menyertakan Nemberala. Bahkan, harus diakui bahwa nama Rote termasyur ke
mancanegara gara-gara desa nelayan di barat pulau ini. Wisatawan asing yang
bertandang ke Rote benar-benar mengincar Nemberala. Ya, ia adalah surganya para
peselancar.
Satu dekade silam, pengunjung Nembarala
dimonopoli oleh peselancar Australia, tapi sekarang sudah berubah. Peselancar
dari berbagai belahan dunia berseliweran disini. Saya menginap di Hotel Tirosa,
dan tetangga kamar saya adalah peselancar dari Kanada, Italia, Spanyol, Brazil,
dan Inggris. Villa-villa serta resort mewah kepunyaan orang asing telah
menghiasi pesisir pantai Nemberala. Bagi yang berkocek pas-pasan pilihannya
jatuh ke sejumlah homestay warga lokal.
Ombak Nembarala tidak seperti ombak di
Kuta yang langsung dinikmati gulungannya di bibir pantai. Peselancar harus
mendayung surf board mereka agak
tengah laut. Tinggi ombak di bulan-bulan tertentu bisa mencapai beberapa meter.
Tak ayal kerap dijuluki sebagai Hawai II.
Arah gulungan ombak Nemberala variatif.
Ada yang ke kanan, ada yang ke kiri. Jika ombak Nemberala kurang memuaskan,
para peselancar menumpang sampan ke Pulau Do’o atau Pulau Nuse yang gulungan
ombaknya sangat panjang. Pulau Do’o dan Pulau Nuse adalah dua pulau imut di
depan pantai Nemberala, bisa ditempuh selama 30 menit.
Tetangga Nemberala yang juga jadi tempat
bermain para peselancar adalah Bo’a. Saya hanya perluh bergeser sejenak karena
letaknya berdampingan. Meski tetangga, topografi kedua tempat ini berbeda jauh.
Secara estetika, Bo’a lebih cantik dari Nemberala sebab pantainya putih bersih
dan lebar, diapit karang yang menjorok ke laut. Ombaknya pun lebih dasyat
serta permainan para peselancar dapat
dipantau dengan jelas.
Keistimewaan lain Bo’a yakni pemandangan
ke Pulau Ndana di hadapannya yang berhutan dan dilingkari pasir putih. Jaraknya
hanya 300 meter. Ndana sebetulnya titik terselatan Indonesia namun karena tak berpenduduk, maka Pulau Rote
dinobatkan sebagai pulau paling selatan di perbatasan Indonesia-Australia.
Pantai-pantai
indah dan tersembunyi masih banyak di sebelah timur Bo’a. Contohnya Umbrella Rock Beach alias Pantai Karang
Payung. Saya menemukan pantai molek ini secara kebetulan. Begitu menyentuh
pasir putihnya, mata saya langsung tersihir sebuah karang besar berbentuk
payung yang indah bukan main.
Genap
seminggu saya menikmati Rote. Pulau di tapal selatan ini memang mempesona.
Taktala ferry Bahari Express memperdengarkan
denting permainan Sasando sepanjang pelayaran pulang, saya merasa seserpih hati
tertinggal di pulau itu.
Valentino Luis (Copyright 2014)
Sebagaimana yang dimuat dalam Majalah LION MAG edisi bulan Februari 2014.
Comments