Travel Fotografi - Edisi Februari 2014



Wae Rebo

Merekam kampung tradisional yang unik dan mendunia, meski harus mendaki rimba pegunungan di barat Nusa Bunga

Jika ada daftar mengenai kampung tradisional Indonesia yang sedang ramai-ramainya dibicarakan saat ini, dapat dipastikan Wae Rebo termasuk di dalamnya. Satu dekade setelah gerakan rekonstruksi yang dilakukan warganya, nama Wae Rebo sontak melesat dalam diskusi para arsitek, penggiat pariwisata, dan penyuka fotografi.

Tak cuma di Tanah Air, Wae Rebo pun diperbincangkan di dunia luar. Bahkan keberadaan kampung ini lebih dahulu diketahui wisatawan asing. Kelestarian dan keunikannya berbuah penghargaan Top Award of Excellence 2012 dari UNESCO World Heritage, menyisihkan ratusan kampung tradisional dari 42 negara. Dengan sendirinya popularitas Wae Rebo naik dan berada dalam radar PBB serta pemerhati budaya internasional.

Kampung yang identik dengan arsitektur berbentuk kerucut ini tersembunyi jauh di atas pegunungan. Saya, ditemani seorang pejalan asing, mendaki sendirian melewati jalur yang becek karena hujan yang turun sehari sebelumnya.  Pepatah  ‘berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian’ agaknya cocok disematkan bagi kami yang hendak melihat Wae Rebo secara langsung. Namun, justruh letak dan tantangan alam itulah yang turut membuat Wae Rebo menjadi destinasi ekslusif. Menemukan keunikan Wae Rebo seusai mendaki dalam kepungan hutan, sungguh membuat perjalanan menjadi sarat nilai.  



 
 






Secara administratif, Wae Rebo masuk dalam wilayah Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Flores. Kota terdekat dengannya adalah Ruteng. Akses ke Wae Rebo juga bisa dari Labuan Bajo. Terdapat sebuah baliho besar bertulis Wae Rebo di pinggir jalan raya trans Flores sebagai petunjuk arah. Dari sana kami harus menghabiskan kurang lebih 3-4 jam menujuh Desa Dintor yang berada di pinggir pantai selatan, kemudian berlanjut menanjak menujuh ke Desa Denge yang menjadi pintu gerbang jalur trekking ke Wae Rebo.

Cikal bakal komunitas Wae Rebo diperkirakan muncul pada akhir abad ke-10. Penduduk meyakini bahwa leluhur mereka datang dari Minangkabau (Sumatra Barat) yang tiba dengan sampan kemudian mencari tempat hidup di pegunungan tinggi sebagai perlindungan terhadap peperangan antar suku. Penduduk awalnya menganut animisme, namun masuknya misionaris Katolik pada tahun 1900an mengubah keyakinan mereka.

Kendati demikian, praktik penghormatan terhadap nenek moyang masih dipegang teguh. Ini terbukti dari diadakannya upacara Waelu di rumah ketua adat setiap kali ada tamu yang datang kesana, sebagai permohonan ijin kepada arwah leluhur. Disini pun terdapat sejumlah pantangan yang musti dipatuhi warga. Semisal larangan memelihara kerbau dan sapi, tidak boleh memaki atau berkata kasar di kawasan rumah adat, dan banyak lagi hukum lisan lainnya.





Mata pencaharian pokok warga Wae Rebo adalah petani kopi. Mereka punya tabiat keramatamahan yang menarik yakni gemar berjabat tangan dengan siapa pun yang ditemuinya. Ketika berpapasan, dalam jarak yang masih jauh, mereka sudah menjulurkan tangan terlebih dulu, sekalipun sedang memikul beban yang berat di pundaknya. Tak heran, selain dijuluki sebagai “Kampung di Atas Awan,” Wae Rebo pun dinamai “The Village of Handshakers” oleh turis mancanegara. Pengalaman berjabat tangan dengan penduduk ketika berpapasan selama rute pendakian, entah kenapa, membuat perjalanan kami terasa ringan.

Daya tarik utama kampung di ketinggian 1200 dpl ini adalah tujuh rumah lancip besar dengan ruang bundar yang dinamakan Mbaru Niang. Atap paduan ijuk dan alang-alang mendominasi bangunan, nyaris menyentuh tanah. Ikatan rotan jadi satu-satunya andalan penguat jalinan antara kayu, ijuk, dan alang-alang. Inilah yang menjadi keunggulan Mbaru Niang, sebab teknik ikatan diakui sebagai teknik arsitektural paling tua, lebih dulu ada sebelum teknik pasak atau paku.

Valentino Luis (Copyright)

***
Cuplikan artikel ini dimuat di Majalah TRAVEL FOTOGRAFI edisi Februari 2014
Lebih Lengkap, silahkan disimak di:
Travel Fotografi (Official Website),
Travel Fotografi (Twitter)

Comments

Popular posts from this blog

Travelxpose Magazine - Februari 2014

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler - Desember 2012

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler- Juli 2012