Lion Mag (Inflight Magazine LION AIR) - Maret 2014
Elegansi
Kampung di Balik Kabut
Teks & Foto VALENTINO
LUIS
"Cahaya
dalam struktur berbentuk
kerucut ini sangat redup, tapi
begitu mataku menyesuaikan diri dengan keremangan, saya bisa melihat bahwa Sang Tua adat, Rofinus, telah mengambil tempat duduknya di kaki tiang kayu besar yang melambung
ke puncak rumah. Upacara penyambutan resmi pun menyebar ke kiri dan kanan....
Saya merasakan tarikan ajaib, yang sepertinya membujuk untuk menyelinap mundur ke dalam waktu menujuh dunia yang lain, dunia yang hanya
ada dalam mitos dan legenda...."
Potongan pengalaman
Stephanie Brookes di Wae Rebo tersebut begitu memikat. Di saat bersamaan
rangkaian kata-kata penulis Australia itu ikut menerbitkan rasa iri. Ya, iri, karena
sebagai putra Flores, saya belum mengenal langsung Wae Rebo, sedangkan
Stephanie yang orang asing telah melihat dan merasakan mistisnya. Padahal
kampung tradisional itu sedaratan dengan rumah orang tuaku.
Stephanie hanyalah satu
dari sekian banyak orang dari negeri seberang yang telah menjenguk Wae Rebo. Memang,
jauh sebelum popularitas kampung di Desa Satar Lenda, Manggarai, Flores ini
merebak ke telinga peminat wisata domestik, para pelancong mancanegara telah
lebih dahulu berbondong menjejakkan kaki mereka disana.
Untuk singgah di Wae Rebo
tidaklah mudah. Sekalipun sudah di Flores, pengunjung harus membawa diri selama
berjam-jam di atas kendaraan. Itu belum termasuk mendaki. Jika tak cukup cekat,
bisa lima jam berjalan kaki. Saya bersama Liron, tandem asal Denmark,
mendatangi Wae Rebo selepas Labuan Bajo. Kami terlebih dahulu mampir ke Danau
Sano Nggoang yang berair biru pucat, bermalam di padang penggembalaan sapi, dan
melihat keajaiban sawah berbentuk jaring Laba-laba nan gigantis. Pendakian ke
Wae Rebo yang bermula di Desa Dengge kami tuntaskan selama tiga jam. Bukan
hendak menciptakan rekor, kami semata tak ingin tersesat dalam kegelapan hutan
karena memulai pendakian pada jam tiga sore, bukan waktu ideal.
Tapi apa yang membuat Wae
Rebo begitu istimewa sampai kami relah memijakkan kaki ke tanah becek berlumpur,
tangkas menembus hutan lembab berlereng curam, dan tak peduli pada senggalan
nafas juga peluh yang bercucuran?
Penghargaan
Tertinggi UNESCO
Wae Rebo bukanlah kampung
yang diciptakan untuk kepentingan pariwisata. Ia telah berdiri di atas pundak
gunung bersama elemen-elemen budayanya sejak abad ke-11. Kampung di ketinggian
1200dpl ini digagas oleh leluhur yang diyakini berasal dari Minangkabau,
Sumatera Barat. Menurut keyakinan penduduk setempat, Wae Rebo adalah persinggahan terakhir nenek
moyang mereka dari kehidupan nomaden.
Magnet utama Wae Rebo
adalah rumah adatnya yang unik.. Rumah adat ini dinamakan Mbaru Niang.
Arsitekturnya berbentuk kerucut dengan diameter bagian bawah cukup lebar,
sanggup menampung banyak orang. Dalam
membangun Mbaru Niang, teknik diandalkan pada kekuatan ikatan-ikatan kayu serta
atap. Rumah-rumah disini sama sekali tidak menggunakan pasak, apalagi paku.
Saya mengagumi falsafah
orang Wae Rebo. Pembangunan rumah adat tidak sekedar memperhitungkan estetika,
keindahan, atau fungsi semata. Bentuk kerucut Mbaru Niang diformulasikan oleh
batang-batang kayu yang membentuk lingkaran dengan sebuah pusat di
tengah-tengah. Ini mengisyaratkan kehidupan yang bermula pada satu titik dan
manusia hidup saling bertalian satu dengan yang lain. Masyarakat Manggarai memegang
teguh formula ini, sampai-sampai pembuatan sawah yang berbentuk jaring
Laba-Laba (Lingko) pun lahir. Bahkan pemilihan lokasi Wae Rebo oleh leluhur
juga mengikuti falsafah ini, sehingga jika diamati, Mbaru Niang berada di tengah
jejeran pegunungan yang membentuk sirkel atau lingkaran.
Setengah dasawarsa lalu,
Wae Rebo belumlah banyak diperbincangkan. Kendati dikunjungi wisatawan asing,
namun kondisi Mbaru Niang berada diambang kepunahan. Tahun 2008 adalah tahun
penting bagi Wae Rebo sebab saat itulah harapan kelestariannya tercetus.
Sekelompok arstitek dari Jakarta, dimotori oleh Yori Antar, mendatangi kampung
ini dan sontak tergerak niat untuk merokunstruksi Mbaru Niang. Saat itu, rumah
adat yang tersisa tinggal tiga buah. Gayung bersambut, warga menerima dengan
sukacita dan dibantu para donator, perbaikan serta pembangunan rumah yang rusak
digalakkan.
Kini tujuh Mbaru Niang
kembali tegak berdiri di balik kabut, seturut aslinya. Oleh keunikan arsitektur,
nilai-nilai filsafat warisan leluhur, serta perjuangan penduduk untuk
mempertahankan rumah adat mereka, UNESCO mengganjar penghargaan tertinggi
berupa Award of
Excellence 2012. Tak hanya itu, tahun kemarin Wae Rebo pun masuk dalam jajaran
tertinggi Aga Khan Award for
Architecture 2013.
Bersahaja Namun Syarat Nilai
Sungguh mengesankan berada
di Wae Rebo. Mendatangi tempat ini setara menggapai puncak gunung impian. Rasa
letih serta penat terbayarkan oleh vista yang indah, arsitektur memukau, dan
yang tak kalah penting yaitu keramahan warganya yang luar biasa. Untuk alasan
terakhir itu, saya dan Liron menjuluki Wae Rebo sebagai “Handshake Village”
alias Kampung Jabat Tangan, lantaran sejak awal pendakian, setiap bertemu kami,
mereka jauh-jauh sudah mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, tua muda.
Ritme kehidupan warga lekat
dengan norma tradisional yang berintegrasi dengan ajaran Katolik. Setiap tamu
yang datang patutlah menghargai adat setempat, semisal meminta izin terlebih
dahulu kepada tua adat di rumahnya, Mbaru Gendang, sebelum berkeliling atau
mengambil foto. Kami diterima dengan upacara khusus yang dinamakan Waelu.
Kemudian ibu-ibu membawa kami menujuh sebuah rumah adat khusus untuk diinap
tamu.
Kopi adalah komoditi
sandaran hidup utama warga Wae Rebo. Mereka mengembangkannya tanpa pupuk
buatan. Kami turut masuk ke kebun untuk memetik kopi yang telah matang.
Pagi-pagi mereka menjemur kopi berkarung-karung di halaman kampung. Pemandangan yang impresif.
Saya juga amat terkesan
ketika malam hari setelah makan, kami diundang ke Mbaru Gendang. Para tua adat
kembali hadir dan bersama-sama memperdengarkan syair-syair tua dalam iringan
gendang. Melodinya mengalun indah, dinyanyikan bersamaan. Apa yang ditulis
Stephanie Brookes benar adanya, saya merasa ditarik secara ajaib, terbujuk untuk menyelinap mundur
ke dalam waktu menujuh dunia yang lain, dunia yang hanya ada dalam mitos dan legenda....tapi ini nyata: di balik kabut Wae Rebo.
***
Valentino Luis (Copyright 2014)
Sebagaimana yang dimuat dalam Majalah LION MAG edisi bulan Maret 2014.
Comments