National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler- Juli 2012

Demi Lembaran  Coração
Teks & Photo oleh VALENTINO LUIS

Ratusan kepala manusia sontak menoleh ke selatan ketika tabuhan gong gendang memecah udara. Seruling mengalun, sorakan penari membahana. Dalam sekejab sirnalah kebekuan suasana oleh hujan deras berkepanjangan yang baru beberapa menit usai. Aspal yang basah menyisahkan sedikit uap sepanjang badan jalan dari stadion olahraga Samador da Cunha hingga monumen Kristus Raja Maumere, timur Flores. Langit turut mafhum dan mengembalikan warna biru.

Sebentar saja sirene mobil terdengar lantas diikuti lantang suara seorang pria dari belakang mikrofon. Sebait seruannya berbahasa Sikka,“ina ama wue wari lu’ur dolor, mai sai ita mogat utung omok. Ena te’i pesta itang, pesta budaya. Nora pesta te’i, ele poi regang wiit ita nuhang ha, ko nora ga’i toneng weli riwung sawe ata maing, bisa ngasiang pu mo’a itang nulung na’i nalung weli. Naruk maeng kela waeng, soka sora nora kantar, siruwisu loru utang, kare tua dolo mosa,” mengajak warga kabupaten Sikka untuk berkumpul menyaksikan karnaval, merayakan pesta budaya bertajuk ‘Maumere in Love’ yang dihelat sepekan.

Karnaval dimulai. Lenggak lenggok gadis belia menempati barisan panjang, bak peragawati profesional melangkah dengan langkah tertata. Tapi ini istimewa, mereka tak sekedar berdandan cantik tetapi membalut tubuhnya dengan gaun-gaun berbahan dasar kain tenun. Ibarat sebuah pegelaran fashion street, mengingatkan saya pada komentar seorang kerabat manakala bertandang ke Flores beberapa waktu silam, katanya, melihat perempuan-perempuan Nusa Bunga ini mengenakan kain tenun dengan beraneka rupa motif setiap hari ibarat menonton pegelaran busana saja, ahh..tak disangkah kali ini dibuat sebuah pegelaran busana sungguhan. Barangkali warga Sikka telah sadar betul bahwa kain tenun yang mereka namakan sarung atau utang itu tahun-tahun belakangan menjadi sorotan. Magnet tak hanya bagi para kolektor seni tapi juga sejumlah perancang mode. “Selama ini kita hanya lihat di tivi dan koran, berita sarung kita yang dirancang menjadi pakaian bagus. Akhirnya bisa lihat sendiri, memang indah-indah,” ujar seorang warga senang.

Saya dan temanku, Celia Sabado Pareira, ikut-ikutan penonton lain bergerak di sisi jalan sepanjang rute karnaval. Apabila barisan pengisi acara berhenti, kami pun turut berhenti, begitu terus hingga menyentuh garis akhir arak-arakan di depan katedral.


Lebih lanjut, silahkan baca di Majalah National Geographic Indonesia Traveler. 
Edisi Juli 2012.

atau klik ke:



Comments

Popular posts from this blog

Travelxpose Magazine - Februari 2014

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler - Desember 2012