Majalah Batik (Inflight Magazine of Batik Air) - Juni 2014

Sensasi Elevasi
POTOSÍ

Teks & Foto VALENTINO LUIS

Residencial Tarija Hostel. Hampir sejam setibanya saya di kota Potosí, Bolivia. Pas di samping pintu kamar penginapanku ini, sebuah cangkir porselin diletakan di atas meja. Isinya cairan panas berwarna hijau kekuningan. Jika saja tidak ada dua lembar dedaunan aneh yang mengambang di dalam cangkir tersebut, sudah tentu saya akan mengenalinya sebagai teh hijau.

“Itu namanya Mate de coca. Teh dari daun Koka. Semua orang Bolivia meminumnya, bahkan kebanyakan daunnya dikunyah laiknya daun Sirih,” sekonyong suara seorang lelaki terdengar dari sebelahku. Tamu hostel ini juga.

“Daun Koka baik dikonsumsi saat berada di tempat-tempat yang letaknya tinggi, mencegah High altitude sickness, ” lanjutnya lagi dengan serius, seakan-akan dia tahu betul bahwa saya baru datang ke Bolivia. Saya pun langsung meneguk isi cangkir, kebetulan kepala saya rasanya agak pening sedari tadi. Saya baru sadar sehari sesudahnya kalau daun Koka ini adalah bahan utama Kokain, dalam kondisi masih berupa daun kandungan alkoloidnya hanya berkisar 0,25%.

Potosí memang berada di elevasi yang tak lazim. Meski letaknya di kaki gunung Cerro Rico, posisi  Potosí sudah lebih dari 4000 meter di atas permukaan laut (dpl). Karena letaknya itulah ia digadang sebagai kota tertinggi di planet bumi. 


Keberadaan Potosí di daerah nan tinggi ini sebetulnya diprakarsai oleh bangsa Spanyol yang tidak lain merupakan penjajah Eropa yang berhasil menguasai separuh Benua Amerika. Bolivia takluk di bawah tirani Spanyol sejak tahun 1524 sejalan dengan gencarnya pelayaran bangsa-bangsa Eropa mencari kekayaan pada masa Discovery Age. Para ilmuwan Spanyol menemukan sumber penghasil perak di kaki gunung Cerro Rico dan memicu eksplorasi penambangan disana.


Tahun 1545 didirikanlah kota Potosí sebagai pemukiman bagi pengawas dan para budak  sekaligus sentra penampungan hasil tambang. Asal tahu saja, selama beberapa dasawarsa sejak kekayaan buminya dikeruk, Potosí menjadi kota dengan populasi terbesar di seantero Amerika. Banyak orang berbondong kesana, migrasi orang Spanyol pun meningkat. Hingga kini dalam peribahasa Spanyol, masih ada ungkapan semisal ‘Vale un Potosi’ yang secara figuratif  bermakna seseorang yang sukses atau mendapat keuntungan besar. 


Banyak sekali bangunan kolonial yang masih utuh di Potosí, terdapat kawasan-kawasan yang sepenuhnya bernuansa Barok. Topografi kota yang naik-turun memberi keasyikan tersendiri untuk menjelajahi bagian-bagian kuno. Oleh sejarah serta keistimewannya UNESCO menerahkan Potosí dengan status World Heritage Site sejak tahun 1987.

CASA DE LA MONEDA
Aktifitas penambangan mineral seperti perak dan bebatuan berharga lainnya di Potosí masih berlangsung hingga kini. Meski demikian, jumlah mineral telah jauh berkurang dan hanya sejumlah pusat tambang yang masih beroperasi. Dikatakan bahwa tinggi gunung Cerro Rico sendiri menyusut beberapa ratus meter akibat penggalian maupun lonsongran demi mendapatkan mineral. Menurut penelitian, hingga tahun 1783 saja sudah sekitar lebih dari 40.000 metric ton perak diangkut oleh kapal Spanyol.


Saya mulanya menampik untuk mengunjungi tambang-tambang di kaki gunung Cerro Rico sebab  kondisi pertambangannya amat mengenaskan. Toh, keinginan untuk melihatnya sendiri akhirnya menghantarkan saya bergabung dengan satu grup pelajar Bolivia melangkah dalam bau masam terowongan. Air yang merambas pada dinding juga  menetes sesekali dari langit gua katanya mengandung sianida, membuat kami enggan menyentuh apapun selama tour berlangsung. Saya tidak bisa membayangkan betapa kuatnya para pekerja tambang yang tiap harinya menghadapi kondisi seperti ini. Di beberapa titik gua, kami mendengar suara ledakan dinamit. Satu dua agen tour malah memberikan kesempatan bagi pengunjung untuk turut melakukan aksi meletuskan dinamit. 
Pengalaman sensasional lain yang berkaitan dengan penambangan saya dapatkan kala mendatangi Casa Nacional de Moneda  atau dipersingkat sebutannya menjadi ‘Mint’. Menempati sebuah bangunan tua yang elok, Mint merupakan salah satu museum yang paling menakjubkan di Amerika Latin. Arsitektur juga ornamen bangunan terlihat klasik. Dulunya tempat yang dikitari tembok ini adalah pusat percetakan uang logam perak, juga penjara.

Bagian paling ekslusif dari Mint adalah ruangan yang memamerkan bebatuan mulia  yang digali jaman dahulu. Primadonanya yakni koleksi batu-batu kuarsa berwarna ungu nan mewah. Batu tersebut merupakan endapan mineral dan hanya ada di Bolivia, sehingga dinamakan ‘Boliavianite’. Konon Bolivianite ditemukan secara tak sengaja menjelang pernikahan seorang panglima Spanyol dengan putri suku setempat. Lantas digilai oleh bangsawan Eropa setelah diperkenalkan oleh ratu Spanyol.

KEHEBATAN SALAR DE UYUNI
Hari ke empat di Bolivia, saya memutuskan untuk merealisasikan niat utama saya ke Bolivia, yaitu memijakkan kaki di Salar de Uyuni. Bisa dibilang, semua orang yang beranjangsana ke Bolivia pasti menaruh nama Salar de Uyuni di tempat teratas.

Barangkali belum banyak yang kenal, tapi tempat bernama lain Salar de Tunupa ini adalah hamparan garam terluas di dunia. Tidak tanggung-tanggung, luasnya mencapai 10,582 km2  atau dua kali lipat dari luas Pulau Bali.


Saya menggunakan bus bernama keren ‘El Dorado’ dengan resiko harus bangun sedini mungkin dan jeda semalam di kota Uyuni. Bagusnya, terdapat obyek wisata menarik yakni padang gersang berisi kereta api antik yang sudah rongsok tak jauh dari pusat kota Uyuni. Ceritanya, lintasan ini dulunya (tahun 1892)dilalui kereta api untuk mengangkut hasil tambang, tapi disabotase oleh penduduk pribumi karena merasa kehadiran teknologi transportasi itu hanya menguntungkan penjajah belaka.
Keesokan paginya saya mencoba ber-hitch hiking, yang ternyata ditanggapi baik oleh sekawanan pelancong asal Australia yang mengendarai mobil jeep dan telah akrab dengan Indonesia. Sebuah keberuntungan dalam petualangan.

Detik-detik menjelang ketibaan di Salar de Uyuni diisi oleh teriakan takjub kami. Perjalanan menyusuri padang tandus yang tiba-tiba berujung pada hamparan putih sejauh mata memandang. Ini luar biasa, juga misterius. Menemukan dataran garam maha luas, mendapati diri laksana miniatur hidup di bentang whiteboard gigantis. Ada perasaan seolah sedang berenang di lautan terdalam ketika menghirup uap garamnya, namun saya pun menyadari bahwa kami berada di ketinggian 4000 meter dpl.

Saya tak tahu musti menyebutnya apa untuk menamai keganjilan rasa ini.
“Ini sensasi elevasi, kawan!!!” teriak satu dari pemuda Autralia itu seraya berlari girang di atas hamparan nirmala garam. Ya, dia betul. Ini sensasi elevasi.

Lalu saya pun berlari mengekorinya.

***
Valentino Luis (copyright 2014)
Sebagaimana yang dimuat dalam Majalah Batik edisi Juni 2014 

Comments

Popular posts from this blog

Travelxpose Magazine - Februari 2014

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler - Desember 2012

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler- Juli 2012