Lion Mag (Inflight Magazine LION AIR) - Juni 2014
SEMADI PAGI DI
BATUR
Teks & Foto VALENTINO LUIS
Jalanan begitu lengang.
Sepi tanpa lalu lalang manusia. Hanya sesekali anjing dan kucing melangkah gontai menyeberangi aspal, menciptakan
efek surealis manakala jejeran pohon yang berdiri di sepanjang jalan turut menjatuhkan
helai daunnya seperti pada pertengahan musim gugur di negeri-negeri subtropis.
Ada sengatan magis setiap kali mataku sempat
beradu dengan mata patung-patung suci yang senantiasa mendelik. Inilah Bali
setelah jarum jam melewati angka dua dini hari, tepatnya saat saya melajuhkan
sepeda motor dari pesisir selatan menujuh Kintamani.
Saya singgah sejenak di
Ubud, dimana dua kawan telah menanti untuk turut serta. “Kamu sangat cepat,”
sambut Jessica, tandem berwarganegaraan Belgia. “Kalian siap?,” tanya saya.
“Untuk kesenangan ini, kami siap,” balasnya. Oh, kesenangan seperti apa yang
kami inginkan dari Bali pada jam-jam seperti sekarang? Hentakan musik dalam
kelab malam? Bukan. Kami justruh merindu pada kesenyapan semadi di puncak
gunung. Kami ingin mendaki Batur, salah satu ‘atap’ Pulau Dewata.
Dari Ubud kami meluncur
pelan ke arah timur laut. Melewati kawasan persawahan Tegalalang yang masih
pekat, kemudian beralih menanjak pada kemiringan wilayah agrowisata dengan
sejumlah poster besar bertuliskan ‘Kopi Luwak’ di kiri kanan jalan. Suhu udara
berubah-ubah, sebentar dingin mencucuk, sebentar hangat. Saya mencium aroma
buah-buahan segar.
Begitu tiba di tepian
kaldera, vista elok Batur langsung menggoda mata. Tinggi gunung Batur 1717
meter dpl namun jika berdiri di atas tebing yang mengitari kalderanya terasa
tinggi gunung ini seolah hanya sebatas ubun kepala. Penduduk desa Kintamani
memanfaatkan panorama indah tersebut dengan mendirikan restoran-restoran tepat
pada ujung bibir tebing. Saya yakin teras- teras restoran yang berpatio lebar
dan terbuka ini akan terisi oleh puluhan pengunjung menjelang makan siang.
Untuk mendaki Batur kami
musti memulainya di pos keberangkatan yang terletak di kaki gunung, persisnya
di Toya Bungkah, sisi timur Danau Batur. Jalur beraspal menurun dengan
tikungan-tikungan tajam serta taburan kerikil menuntut penglihatan penuh saat berkendaraan.
Apalagi sepeda motor yang kami pakai cuma sekelas skuter.
Di pos keberangkatan semua
pendaki mendaftarkan diri, membayar retribusi seharga Rp.75.000 per orang,
lantas ditemani pemandu setempat untuk mendaki.
Umumnya pendakian dimulai jam 03.30 pagi. Penting untuk melengkapi diri
dengan sepatu yang nyaman, senter, jaket, serta bekal minuman ataupun makanan.
Cuaca yang cerah memperindah angkasa lewat taburan bintang. Orion dan Sirius
adalah instalasi bintang yang paling sering muncul tatkala mendaki Batur.
Lautan
Awan dan Cahaya Fajar
Butuh waktu sekitar dua jam
agar bisa menggapai view point Batur.
Mula-mula kami melalui ladang sayuran. Begitu rute mulai menanjak, batu-batu
legam menjadi pijakan utama kaki kami. Pepohonan tinggi dan rimbun jarang
ditemui di Batur. Sebagai grup pertama, dari lereng gunung kami menilik jelas
bagaimana iring-iringan pendaki berikutnya bergerak dari bawah. Tak ubahnya
barisan para pengungsi dengan lampu kedap-kedip.
Batur merupakan gunung
berapi yang masih aktif. Ia tercatat telah puluhan kali metelus. Dari tahun 1804 hingga tahun 2004. Letusan
tahun 1926 disebut sebagai erupsi Batur terbesar dan menelan banyak korban
jiwa. Letusan itu juga menciptakan kaldron laiknya cincin di sekelilingnya,
ditambah sebuah danau air tawar sepanjang 7,5 km.
Begitu
mencapai view point yang ditandai
oleh sebuah pondok kecil dan prasasti Batur, kaki yang pegal serta senggalan
nafas mendadak lenyap. Seolah berhasil melampaui pertempuran. Hidangan
pemandangan berupa Gunung Penulisan dan lekuk perbukitan serta kabut yang
memenuhi sekeliling kaldera membawa perasaan seakan-akan terjebak di sebuah
pulau aneh.
Namun
pendakian belum berhenti. Karena waktu terbitnya matahari masih lama, kami
memutuskan untuk mencapai titik tertinggi Batur. Kali ini lereng gunung lebih
didominasi pasir. Kami menyisir trek yang bertebing, menghadap cerukan erupsi.
Bau belerang terendus samar saja. Asap yang keluar dari cerukan ini tersebar
acak dan hanya berupa kepulan-kepulan kecil.
Ternyata
di puncak Batur sudah berkumpul sejumlah pendaki yang berangkat lebih dahulu.
Saking awalnya, sebagian dari mereka malah masih tidur terbuntal sleeping bag. Kami mencari posisi yang
pas untuk menikmati terbitnya matahari. Cakrawala perlahan memainkan
pertunjukan sulap berupa pergantian warna langit; dari hitam ke gradasi biru,
ungu, dan merah. Taburan bintang lambat laun menghilang tapi kabut telah
bertransformasi menyerupai kerutan kapas maha luas, sebuah lautan awan. Saya
melihat sejumlah orang menyingkir menemukan tempat untuk dirinya sendiri, lalu
diam dalam semadi pagi.
Momen
yang dinanti itupun tiba. Sang Fajar menyembul perlahan dari timur, muncul
membawa serta bayangan Gunung Rinjani nun jauh di Pulau Lombok sana. Entah
siapa yang memulai, tiba-tiba gemuruh tepukan tangan membahana. “Selamat datang
Matahari!” pekik Jessica.
Global
Geopark Pertama Indonesia
Usai sunrise, satu demi
satu pengunjung menyingkir dari puncak. Kami tetap bertahan lantaran telah
memesan sarapan di sebuah warung kecil disana. Warga sekitar gunung memang ada yang berjualan makanan di puncak
Batur. Kopi hangat, Nasi bungkus, atau Mi goreng.
Pemandu kami menyarankan
memilih jalur memutar untuk kembali ke kaki gunung. Jadi kami tidak pulang
melalui rute yang sama. Tentu saja saya tidak menolak sebab ini akan memberi
pemandangan baru sekaligus kesempatan melihat Batur lebih menyeluruh.
Jalur yang kami tempuh amat
sempit, selebar 30 cm, hanya untuk satu orang dan tepat di punggung gunung.
Kiri kanannya adalah lereng curam. Toh, kami bisa berhenti di sejumlah titik
dimana uap gas bumi mengepul. Ini memberi keasyikan tersendiri karena suhu masih
dingin dan sedikit berangin. Mampir ke kepulan uap ini rasanya seolah masuk ke
sauna. Oleh keunikan topografi, budaya, maupun indahnya pemandangan yang
tersaji inilah, UNESCO mendaftarkan Batur sebagai satu dari Global Geopark, yakni sebuah kawasan warisan geologi (geological heritages) yang punyai
nilai ekologi dan warisan budaya (cultural heritages)
serta berfungsi sebagai daerah konservasi, edukasi dan sustainable development. Batur menjadi kawasan
pertama di Indonesia yang masuk dalam daftar ini.
Ketika kami tiba di bukit
yang gundul, pemandu kami mengeluarkan telur ayam yang ia bawa, lantas
mempraktikan bagaimana memasaknya dengan cara menguburkan telur itu ke dalam
pasir yang berasap. Bukan hal baru sebetulnya, tapi ini sebuah interlud
perjalanan pulang yang manis. Tambah lagi ia lihai memainkan Pereret, semacam seruling khas Bali. Saya
telah memilih kesenangan yang tepat pagi ini. Di Batur, antara semadi
menyongsong Surya dan gemuruh ketakjuban pada alam.
Valentino Luis (Copyright 2014)
Sebagaimana yang dimuat dalam Majalah LION MAG edisi bulan Juni 2014.
Comments