Majalah Batik (Inflight Magazine Batik Air) - Mei 2014

Surga Putih
SANTORINI

Bukan rahasia lagi jika pulau di perairan Yunani ini menjadi salah satu destinasi paling diimpikan pasangan kekasih atau para pengantin baru. Acapkali ia didefinisikan dengan tiga kata: Cantik, Otentik, Eksotik. Dengan jejeran arsitektur serba putih di sisi tebing curam, sunset dibumbui pemandangan lapang lautan Aegean serta resonansi legenda Atlantis, siapapun bakal terlena oleh Santorini.

TEKS & FOTO VALENTINO LUIS 

Gang sempit Erithrou Stavrou yang tadi siang sekedar lintasan bagi para pejalan kaki kini tak ubahnya saluran uap rempah. Saya melangkah antara wangi masakan yang merebak dari jejeran restoran di gang ini. Hidung saya laiknya hidung kucing di dekat tudung saji; kembang kempis tak karuan menerka-nerka boga lezat apa yang terhidang di balik samar tirai. Sebagian aromanya bisa dikenali, sebagian lagi amat asing.

Sejam sebelumnya, benderang matahari berhasil dirabas malam. Angkasa pun tergantikan oleh kelap-kelip kartika, mendorong saya keluar dari kamar hotel Blue Suites. Penginapan sederhana saya itu berada di sempadan antara pemukiman warga dengan ladang semak liar. Bentuk kubus bangunan dengan emper panjang terbuka membuat tetamu bersentuhan langsung dengan alam kapanpun mereka beranjak dari bilik. Sembari menanjaki lorong pada sisi timur menujuh jalan utama kota Fira hingga alun-alun depan Katedral Ypapanti, saya menemukan kemampuan malam mempercantik kota ini bersama pendar cahaya lampu baik dari dalam maupun luar. Baluran cat serba putih pada dinding di hampir seluruh bangunan ibukota Santorini ini beralih menguning lembayung.

Begitu otot betis memanas -karena sedari tadi terus menapaki anak tangga- saya memutuskan untuk berlabuh ke restoran di penghujung gang Erithrou Stavrou. Cukup sudah, batinku, kini saatnya vradino, makan malam perdana di Santorini. 

BERTANDANG KE DESA-DESA UNIK
Yang saya kagumi dari Santorini selain pemandangan menawannya adalah kemampuan pemerintah juga penduduk untuk menjaga otentitas daerah mereka dengan menutup akses bagi invasi merek dagang asing maupun produk mainstream global yang acap singgah di berbagai destinasi wisata dunia. Jadi , jangan harap menemukan Mc Donald, Starbucks, Kfc atau tidur di hotel yang merupakan jaringan akomodasi internasional semisal Hilton, Mercure, dan lain sebagainya. Sebagai gantinya, wisatawan disajikan menu-menu setempat dan tidur di penginapan bergaya lokal. Perlindungan akan otentitas daerah macam ini  sudah sulit dilakukan.

 
Meski panjangnya cuma sejauh Jakarta - Cikampek, tapi yang bisa dilihat dari pulau berbentuk embrio bayi ini lumayan banyak. Kecantikan Santorini sesungguhnya terletak pada desa-desa tuanya. Sebut saja Oia, desa paling utara dan paling tersohor. Dibangun oleh para kapten dan pelaut pada abad Pertengahan, Oia adalah maskotnya Santorini. Hampir semua foto terindah yang beredar ke seantero dunia tentang Santorini dijepret disini. Saya tak mampu menepis godaan untuk berdiri di bawah bayang-bayang kincir anginnya dan ikut bertepuk tangan bersama pengunjung lain menghantar perginya matahari dari atas puing reruntuhan kastil yang terletak langsung di tanduk kaldera.


Selain Oia, ada desa unik lain bernama Pyrgos. Tidak jauh dari Fira, hanya 8 km ke arah tenggara. Disana saya menemukan rumah-rumah tersebar bagai tumpahan susu mengitari sebuah bukit kerucut setinggi 360 meter. Ukurannya yang lebih besar dari Fira bukanlah tanpa alasan karena Pyrgos dari abad ke 16 hingga abad ke 19 merupakan ibukota Santorini. Saya mendatangi sisa-sisa benteng pertahanan. Secara keseluruhan terdapat lima benteng di Santorini tapi kebanyakan sudah runtuh oleh gempa bumi. Keistimewaan lain dari Pyrgos yakni perayaan Trihari Suci sebelum hari Minggu Paskah dimana pada malam Jum’at Agung penduduk hanya menyalakan lilin sebagai penerang gulita. Alhasil, desa ini pun berubah menjadi bukit penuh cahaya lilin.

Satu hal yang turut mempopularkan nama Santorini, terutama di kalangan jet set adalah Assyrtiko. Ini bukan nama desa tapi nama satu jenis anggur putih asli Santorini. Anggur Assyrtiko memiliki aroma citrus. Selain itu rasanya pun khas, yang disinyalir berasal dari kandungan mineral vulkanis. Belakangan Assyrtiko dibudidayakan di banyak wilayah Yunani. Nah, pengolahan Assyrtiko menjadi minuman berkelas dunia ini dilakukan oleh penduduk sebuah desa elok bernama Megalochori. Di desa yang berjarak kira-kira 2 km dari Pyrgos tersebut saya berkenalan dengan merek-merek anggur ternama seperti Antonio, Boutari, serta Gavalas.

MENELISIK JEJAK PERADABAN KUNO
Membicarakan Yunani pastinya tak lepas dari kehebatan peradabaan masa silam negeri ini. Pengaruhnya menyebar ke seantero dunia. Sistem tata negara, politik, demokrasi, filsafat, seni,  dan banyak lagi lainnya. Bukti-bukti seperti situs kota kuno, kuil-kuil, patung para dewa, tersebar di berbagai wilayah Yunani. Di Santorini yang telah berulang kali dihantam gempa bumi pun orang masih bisa menemukan kota kuno. 


Meskipun dalam rupa yang sudah tak utuh lagi tapi dua kota kuno Santorini sanggup membawa saya kembali ke masa lalu. Lokasi pertama yakni di desa Akrotiri. Letaknya di selatan, hanya butuh waktu 30 menit dari desa Megalochori dan tak jauh juga dari sebuah pantai yang cukup terkenal, Red Beach.

Syahdan, di abad ke-17 sebelum Masehi di Akrotiri hiduplah masyarakat kuno Minoan. Situs yang ada sekarang digali oleh para arkelog setelah terkubur dalam tanah selama 3500 tahun akibat sapuan debu letusan gunung berapi. Dari dokumen serta lukisan tua milik masyarakat Minoan, diketahui bahwa pulau ini dulunya berbentuk bulat kerucut dan mereka menamakannya Stroggili. Lenyapnya peradaban Minoan akibat letusan gunungnya sering dihubung-hubungkan dengan legenda Atlantis.


Lokasi kota tua yang kedua adalah Ancient Thera dan adanya di atas gunung Mesa Vuono. Berposisi di sebelah barat, gunung setinggi 396 meter itu tidak sulit dicapai puncaknya. Saya memilih berjalan mendaki pagi hari demi merasakan sensasi kepurbakalaan. Jam 8 pagi akses ke Ancient Thera dibuka. Aura kekunoannya sudah terasa semenjak saya menapaki langkah-langkah pertama. Formasi jalan berkelok dan tatakan batu mengikuti keadaan jaman dulu, demikian pun rimbunan pohon pinus di sisi jalan serta bentangan laut luas di kiri gunung. Mirip setting film kolosal Yunani atau Romawi.

Gunung Mesa Vuono ini memisahkan dua pantai terkenal yaitu Kamari dan Perissa. Sesampainya di atas gunung dan membayar karcis seharga 4 Euro, saya mengitari areal kota kuno. Ancient Thera mengalami percapuran beberapa budaya besar seperti Helenistis, Romawi, dan Byzantin. Hal itu tampak dari bentuk tata kota, kuil, juga benda-benda peninggalannya. Diantara tebaran puing-puing saya menemukan simbol-simbol pemujaan: Singa (Dewa Appolo), Elang (Dewa Zeus), serta Lumba-lumba (Dewa Poseidon).

Saya menyimpan ingatan akan semua yang telah saya alami di Santorini. Kembali kesini suatu saat kelak? Pasti, sebab  tak ada yang menampik untuk menjenguk Surga Putih semolek dia. Kherete! Sampai jumpah!

***
Valentino Luis (Copyright 2014)
Sebagaimana yang dimuat dalam Majalah BATIK AIR edisi bulan Mei 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Travelxpose Magazine - Februari 2014

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler - Desember 2012

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler- Juli 2012