Travel Fotografi - Mei 2014
Menjenguk Rote,
Si Nusa Lontar
Disini semilir angin menggulung ombak yang meliukkan
tubuh para peselancar, membumbungkan melodi dari senar-senar Sasando, dan
membawa penjelajahnya terbuai pada pantai-pantai molek.
Diantara belasan ribu pulau
di Indonesia, Rote merupakan pulau yang ditentukan sebagai pembatas terluar
Indonesia untuk wilayah selatan. Tidak heran bila namanya kerap disebut dalam identifikasi geografis Indonesia. Tapi
seberapa banyak orang mengenal dan telah menyinggahinya, mungkin tak sebanding
dengan seberapa sering namanya disebut.
Letaknya yang demikian jauh
dari ibukota Jakarta memberi andil kenapa pulau seluas 1280,10 km2 ini jarang dipijaki. Ironisnya, para pelancong
dari Negeri Kanguru yang kebetulan negaranya begitu dekat dengan Rote, justruh
menjadikan pulau ini sebagai pelarian untuk berleha-leha karena pantainya yang
sunyi serta gulungan ombak lautnya yang siap membawa penggila surfing terlena
dalam keasyikan.
Datang perginya turis Australia
dan penggiat olahraga surfing membawa Rote masuk dalam jajaran destinasi
pelancongan baru, atau acapkali disertakan dalam daftar ‘hidden places.’ Imbasnya, titik-titik strategis wisata mulai
ditumbuhi sarana semisal villa maupun resort, kendati yang paling bagus umumnya
diempunyai investor asing dengan tarif menggunakan Dollar Amerika.
Sejak tahun 2002, Rote (atau di masa penjajahan
Belanda disebut Roti) terbentuk sebagai sebuah kabupaten otonom. Sebelumnya ia
bergabung dalam pemerintahan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Rote
dikelilingi 96 pulau kecil yang hanya 6 diantaranya dihuni manusia. Ibukotanya
bernama Ba’a, gampang dicapai dengan ferry maupun pesawat regional dari Kupang.
Sekitar 8 suku asli yang mendiami Rote. Mereka adalah suku Dela
Oenale, Ringgou, Bilba, Dengla, Dhao, Lole, Termanu, dan Tii. Tersebar menurut
arah mata angin. Mata pencaharian penduduk disini umumnya peternak, ditopang
oleh keadaan alam yang termonopoli oleh padang rumput.
Kesenyapan di sebagian besar wilayah, menyebabkan pulau ini kuat
akan mitos serta legenda. Banyak tempat yang dipandang angker dan tak boleh
didatangi sembarangan. Seiring perputaran waktu dan pembangunan infrastruktur,
pelan-pelan bagian yang tertutup pun terkuak. Sebagai petualang ataupun
fotografer, mendatangi tempat-tempat yang jarang dijamah seperti Rote merupakan
sebuah privilege, dimana merasakan
otentisitas maupun tenggelam dalam kebersahajaan alam serta budayannya ibarat
menyusup masuk ke lorong waktu.
Lontar, Penanda Identitas
Tanah Tii Langga, Pulau Air Gula, dan Bumi
Sasando. Beberapa sapaan itu dilekatkan bagi Rote. Tapi ada satu julukan
yang agaknya sanggup memungkasi semua sapaan di atas yakni, ‘Nusa Lontar.’
Alasannya sederhana, baik Sasando, Tii Langga, ataupun Air Gula,
keseluruhan mereka berhulu pada satu bahan pokok yaitu Lontar. Tanaman jenis
palem ini memang tumbuh subur di Rote. Simbiosis ratusan tahun antara orang
Rote dengan lontar menghasilkan cairan kental yang manis, denting merdu alat
musik serupa kecapi, dan topi pelindung kepala nan artistik.
Topi khas Rote, Tii Langga, disebut-sebut sebagai salah satu topi
tradisional paling memikat di Indonesia. Modelnya yang futuristik dari daun
lontar tidak bisa disamakan dengan topi tradisional manapun. Sepintas ukuran
serta lebarnya menyamai Sombrero, topi Meksiko, namun lengkungan juga ‘antena’
depannya amat indah dan otentik.
Alkisah, Tii Langga merupakan karya seni hasil kolaborasi antara
penduduk setempat dengan pelaut Portugal abad ke-16. Melihat topi ini dikenakan
oleh pria Rote, khususnya ketika sedang menunggang kuda atau menggembalakan
ternak di padang, mau tak mau pikiran langsung terarah pada film-film cowboy Amerika. Apalagi topografi pulau
ini berbukit-bukit dengan padang rumput yang menguasai 80% daratannya.
Beringsut menelisik kekayaan Rote lainnya, yaitu Air Gula atau
dalam lafal setempat Ae Gula, yang
menjadi usaha sampingan para petani Rote. Seiring globalisasi, pondok-pondok
pembuatan air gula sudah jarang yang dapat ditemukan di pinggir jalan raya. Air
Gula ini biasanya dijual dalam jerigen, cairannya kental dengan warna serta
aroma mirip madu. Memotret proses pembuatan air gula, mulai dari bagaimana
mereka memanjat pohon lontar sampai memasaknya, bisa memberi kisah tersendiri
dalam foto.
Bicara perihal lontar dan Rote, tentu tak bisa dipisahkan dengan
salah satu ikon alat musik tradisional Indonesia, Sasando. Aplikasi alat musik
petik ini telah ada di Rote sejak abad ke VII. Dalam arti harfiah, Sasando
bermakna benda yang bergetar. Cerita rakyat Rote mengisahkan bahwa Sasando tercipta
oleh seorang pemuda bernama bernama Sangguana yang terdampar di pulau
Ndana. Ketika dibawa penduduk menghadap raja, Sangguana dan putri raja saling jatuh hati
pada pandangan pertama. Sebagai syarat
pernikahan, ia diminta menciptakan alat musik yang lain dari yang lain. Sangguana
menyanggupinya, dan lewat mimpi ia memperoleh cara untuk menciptakan alat musik
yang kemudian dinamakan Sasando. Anyaman daun lontar pada Sasando berfungsi
sebagai resonansi.
Menjejak Pantai-Pantai Perawan
Sebagai sebuah pulau tropis, Rote dikelilingi oleh garis pantai
dengan karang serta pasir berlekuk-lekuk indah. Penggila pantai akan betah
disini, apalagi rata-rata semua pantai sangat alami juga sepi pengunjung.
Posisi Rote adalah melintang miring dari utara ke selatan. Hal ini memungkinkan
para fotografer untuk mendapatkan momen sunset serta sunrise yang sempurna.
Lebar pulau yang tak seberapa memudahkan untuk mengabadikan dua momen tersebut
dalam satu hari.
Di seputaran kota Baa, terdapat dua pantai legendaries. Pantai
Termanu dan Pantai Tiang Bendera. Ini bisa jadi obyek yang langsung memberi
kesan istimewa jika Anda baru pertama kali mengunjungi Rote. Pantai Termanu,
misalnya, berada kurang lebih 5 km ke arah barat dari pusat kota, pantai ini
bisa jadi landmarknya Rote berkat posisi fotogenik serta mitos batu granit
disana; Batu Hun dan Batu Suelay yang oleh penduduk lokal diyakini sebagai
representasi kelamin pria dan wanita. Paling bagus datang pada senja hari sebab
matahari terbenam dengan spektakuler disini, berhiaskan kuda-kuda yang dilepas
merumput pada bukit-bukit kecilnya.
Pantai Tiang Bendera cukup misterius, dilatarbelakangi oleh
sejarah bahwa tempat ini dulunya merupakan pos penjagaan Belanda yang diserbu
oleh pejuang lokal sehingga muncullah nama Tiang Bendera karena peristiwa
heroik pengibaran Sang Saka Merah Putih yang menelan korban jiwa. Topogafinya
berkarang, namun lautnya tenang serta detik-detik matahari terbenam nan
sempurna.
Kunjungan ke Rote belum lengkap jika tanpa menyertakan Pantai
Nemberala. Bahkan, harus diakui bahwa nama Rote termasyur sampai ke mancanegara
gara-gara desa nelayan di barat pulau ini. Wisatawan asing yang bertandang ke
Rote benar-benar mengincar Nemberala. Ya, ia adalah surganya para peselancar.
Aktifitas mereka bermain bersama gulungan ombak patut dijepret dengan latar
pasir putih dan naungan pohon kelapa yang masih berjejer rimbun.
Tetangga Pantai Nemberala yang juga jadi tempat bermain para
peselancar adalah Pantai Bo’a. Secara estetika, Bo’a lebih cantik dari
Nemberala sebab pantainya lebih lebar, diapit karang yang menjorok ke laut.
Ombaknya pun lebih dasyat serta
permainan para peselancar dapat dipantau dengan jelas. Adanya Umbrella Rock yakni pantai berhias
karang berbentuk payung serta Crescent
Bay yaitu teluk berbentuk bulat sabit dengan pasir nan putih bersih di sisi
timur, membuat Bo’a wajib di datangi. Jadi, jika sampai detik ini Anda masih
memimpikan pantai-pantai di negeri nan jauh, pikirkan lagi.
Valentino Luis (Copyright)
***
Cuplikan artikel ini dimuat di Majalah TRAVEL FOTOGRAFI edisi Mei 2014
Lebih Lengkap, silahkan disimak di:
Cuplikan artikel ini dimuat di Majalah TRAVEL FOTOGRAFI edisi Mei 2014
Lebih Lengkap, silahkan disimak di:
Comments