Travelxpose Magazine - April 2014

Tradisi Lestari
Larantuka

Teks dan Foto: VALENTINO LUIS

Tradisi religi yang mistis menempatkan kota di ujung timur Flores ini sebagai destinasi wajib kunjung setiap tahun. Apa saja yang dimiliki Larantuka selain upacara  Semana Santa yang namanya telah menjagat itu?

Udara mendadak sejuk ketika sepeda motor yang saya kendarai memasuki Hokeng. Apalagi tatkala melajuh pada jalan lurus yang memisahkan kebun kopi bernaung pohon-pohon menjulang teduh. Begitu adem. Saya memutuskan untuk mengaso sejenak di pondokan yang dikerubuti ibu-ibu pedagang buah. Ada rambutan, pisang, nenas, serta buah-buahan endemik.  Tak seberapa jauh, tampak sekelompok orang membongkar berkarung-karung buah kakao kuning.

“Mau ke Larantuka?,” tanya mereka berbarengan. Saya mengangguk. Dengan ramah salah satunya memberi saya tempat kosong untuk duduk, yang saya tepis dengan halus,  karena ingin berdiri merenggangkan pinggang.

Ini perjalanan yang panjang. Saya berangkat sendirian dari Maumere menujuh Larantuka. Pada peta hanya tertulis 135 km, tapi berhubung topografi yang bergunung, menciptakan begitu banyak belokan. Cukup menyita waktu. Untungnya, pemandangan alam memesona mata. Beberapa kali saya ‘dipaksa’ berhenti untuk memotret.

Setelah menghabiskan dua buah pisang yang saya beli, sepeda motor kembali menderu. Kira-kira 15 menit setelah meninggalkan Hokeng, mata saya tersihir oleh dua gunung kembar menyembul anggun di sisi selatan. Separuh dari badan kedua gunung mempertontonkan sisa erupsi berupa endapan lava yang hitam memutih.

Gunung Lewotobi namanya. Masyarakat setempat meyakini kedua gunung berdempetan itu adalah sepasang suami istri. Yang timur adalah Lewotobi pria, yang barat Lewotobi Perempuan.  Meski yang pria lebih pendek (1584 meter dpl), namun nyatanya jalur pendakian lebih aman dan mudah menujuh puncak Lewotobi perempuan. Letusannya senantiasa berbarengan. Mula-mula tahun 1675 dan terakhir tahun 2003.

Pelan-pelan rute menyisir tepi laut selatan. Ada sebuah nusa imut, Pulau Konga namanya, menyembul indah bagai separuh batok kelapa. Dari dua pemuda yang saya temui, mereka mengatakan bahwa pulau itu telah disewakan kepada pengusaha Jepang untuk dijadikan sentra pengembangbiakan mutiara. Pulau itu pun tidak bisa diakses oleh umum sesuka hati.

Panorama ke arah Pulau Konga akan lebih sempurna jika ditilik dari ketinggian. Ternyata rute jalan menempuh titik yang pas. Jadilah saya dapat menangkap sebuah  pemandangan khas postcard picture. Manalagi, dua gunung kembar Lewotobi pun ikut menjadi latar belakangnya. Indah nian.

Lorong-Lorong Vatikan Kecil
Larantuka adalah ibukota Kabupaten Flores Timur, namun acapkali orang menyebut seluruh wilayah kabupaten ini dengan Larantuka saja. Penduduk asli punya sebutan lain, yakni ‘Nagi.’ Dalam bahasa-bahasa kesusastraan maupun seni (lagu atau puisi) daerah, cenderung memakai nama Nagi. Contoh paling nyata adalah lagu ‘Bale Nagi’ yang termasuk pop klasik namun tetap popular hingga sekarang, sempat dicover oleh Benny Panjaitan (Panbers) dan Ivan Nestorman.

Larantuka dulunya berbentuk kerajaan. Jauh sebelum kedatangan bangsa Portugis, kerajaan ini telah dipimpin oleh suku lokal dari pegunungan Ile Mandiri dan mengadakan perdagangan dengan kerajaan Nusantara lainnya. Dalam lafal Portugis, Larantuka disebut Larantuque dan penduduknya dinamakan Larantuqueros.

Masuknya Portugis juga mengubah iman orang-orang setempat, dari semula animis menjadi Katolik. Raja Larantuka dibaptis menggunakan gelar Diaz Vieira de Godinho yang disingkat DVG. DVG ini dalam istilah Portugis bermakna “Pelayan Allah”. Dalam menjalanakan pemerintahannya, raja dituntut untuk membawa rakyat untuk hidup seturut kehendak Tuhan.



Larantuka punya beberapa julukan. Dua yang popular yakni “Vatikan Kecil” dan “Kota Rainha.” Dikatakan sebagai Vatikan Kecil lantaran ia punya sejumlah gereja, baik besar dan kecil yang letaknya saling berdekatan. Bahkan suku-suku dalam kota ini pun memiliki mini chapel atau kapela kecil pribadi. Mereka menamakannya ‘Tori’. Jumlahnya banyak. Jika kita masuk ke lorong-lorong pemukiman, dengan mudah menemukannya karena dibangun di halaman depan rumah. Tori-tori ini amat dijaga oleh para suku sebab di dalamnya tersimpan benda-benda suci warisan Portugis.

Jangan heran kenapa mereka memilikinya, sebab orang-orang Larantuka sama seperti koloni Portugis lainnya, juga mengalami perkawinan campur. Keturunan pribumi dengan bangsa Portugal mudah ditemukan seperti di Brazil, Goa (India), Angola (Afrika), Melaka (Malaysia), hingga Timor Leste, tak ketinggalan di Indonesia misalnya orang-orang Tugu (Jakarta), Ambon, dan tentunya  Flores bagian timur ini. Mereka dinamakan Mestizos. Di Indonesia dan Malaysia lebih dikenal dengan sebutan kaum Mardikas atau Mahardikas.

Ketika Melaka jatuh ke tangan VOC Belanda tahun 1641 banyak ornamen-ornamen religius diboyong ke Larantuka. Para pelaut Portugis pun berasimilasi dengan warga. Nama-nama marga Portugis lantas diturunkan. Contohnya: Fernandez, Ribeiro, da Costa, da Gama. Di Maumere, ada marga Pareira, da Cunha, da Gomez, da Lopez, da Silva, dll. 



Julukan sebagai Kota Rainha, mungkin lebih dibanggakan orang Larantuka. Kata Rainha sendiri berasal dari bahasa Portugis, artinya Ratu. Jangan keliru, Larantuka tidak pernah dipimpin oleh seorang ratu. Julukan ini sebetulnya ditujuhkan kepada Bunda Maria, yang dijadikan pelindung kota. Orang Larantuka menyebut Bunda Maria dengan panggilan khusus: ‘Tuan Ma’. Ini tidak terlepas dari sejarah masa lalu.

Saat Raja Ola Ado Bala dikukuhkan sebagai raja tahun 1645 dengan nama Don Fransisco Constantino DVG, ia menyerahkan tongkat kerajaannnya kepada Bunda Maria. Sejak saat itu Tuan Ma diakui sebagai Reinha (Ratu) bagi Kerajaan Larantuka. Penyerahan perlindungan kepada Tuhan melalui Bunda Maria pun berlanjut ke raja-raja berikutnya. Itulah kenapa sosok yang dalam agama Islam disapa Siti Mariam ini begitu dicintai di Larantuka.

Prosesi Duka Semana Santa
Tiap-tiap daerah punya festival budaya. Hasil inkulturasi peradaban lokal dengan Hindu, Budha, Islam, atau Kristen. Nah, Larantuka lekat dengan tradisi warisan Portugis, yakni Semana Santa.


Dihelat setahun sekali, Semana Santa merupakan rangkaian hari-hari yang dikuduskan untuk mengenang kematian Al-Masih menyongsong Hari Raya Paska. Dalam waktu satu pekan warga berkabung dan berpuasa. Puncaknya yakni pada Hari Juma’t atau Sesta Veira dimana penduduk turun ke jalan untuk melakukan prosesi sakral mengelilingi kota dengan simbol-simbol Katolik. Saat itulah patung Tuan Ma ditandu.

Inti prosesi ini yaitu Bunda Maria, yang meratapi nasib anaknya yang menderita dan wafat di salib. Semana Santa telah menyedot perhatian ribuan orang dari dalam dan luar negeri. Selain nilai religinya, daya tarik prosesi ini adalah usianya yang melampaui lima abad  serta otentisitas ritualnya yang tetap terjaga. Di banyak negara Semana Santa fokus pada Yesus, hanya di Larantuka sosok Bunda Maria lebih disorot.


Penduduk dan para pelayat dari luar Larantuka akan turun ke jalan dengan pakaian serba hitam, membawa lilin yang digunakan sebagai penerang jalan. Di saat bersamaan mereka juga berziarah ke makam-makam kerabat yang meninggal untuk menyalahkan lilin dan mendoakan mereka. Suasana amat magis. Tanpa bunyi-bunyian, hening, seakan larut dalam duka.

Acara pada Hari Jumat ini berlangsung dari siang hingga subuh. Dimulai dari iring-iringan dengan puluhan kapal yang membela laut, perarakan keliling kota, dan doa perkabungan di Katedral.

Sebetulnya suasana duka sudah dimulai hari Rabu. Warga membersihkan rumah-rumah mereka beserta pusaka-pusaka religiusnya. Saat itu mulai berdatangan pengunjung dari luar. Penginapan-penginapan langsung penuh, bahkan sudah tidak bisa dipesan lagi sejak awal tahun. Sebagai gantinya, warga memberikan tumpangan tanpa bayaran bagi para peziarah. Opsi lain yaitu bisa tidur di tenda-tenda yang telah disiapkan penduduk. Semana Santa biasa terjadi pada akhir bulan Maret atau awal bulan April, tergantung kalender Paska. Tahun ini akan berlangsung pada tanggal 9-13 April

Valentino Luis (Copyright 2014) 
***

Cuplikan artikel ini dimuat di Majalah TRAVELXPOSE edisi Februari 2014, sebanyak 12 Halaman.
Lebih lanjut, silahkan simak di:

Comments

Popular posts from this blog

Travelxpose Magazine - Februari 2014

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler - Desember 2012

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler- Juli 2012