Majalah Batik (Inflight Magazine of Batik Air) - Agustus 2014
Buai Pesisir
Lombok Selatan
Teks & Foto VALENTINO
LUIS
G
|
ema suara pertanda kapal
akan berlabuh membangunkan penumpang yang terlelap. Saya dan keempat tandem
beringsut bangkit dari bangku-bangku panjang yang kami gunakan sebagai alas
tubuh. Angin pagi menerpa sekujur badan, memaksa kami berkemas dengan tangan
menggigil. Alih alih menggerutu, kami justruh saling berangkulan dengan sukacita. Akhirnya tiba juga di pelabuhan Lembar,
Lombok.
Kami menumpang ferry tengah
malam dari Padang Bai, dan setelah lima jam melintasi selat Bali, kini kami
menyaksikan kemuning matahari pagi menyebul dari punggung Gunung Rinjani. Pelabuhan
Lembar yang dipigurai bukit serta laut nan tenang terlihat indah.
Ada perasaan akrab menjalar
di ingatan. Sebulan yang lalu saya memang mampir disini untuk mengikuti trip
pendakian Gunung Rinjani. Sekarang saya datang lagi ke Lombok, namun suasannya
lebih spesial karena kali ini bersama keempat sahabat kebanggaanku. Mereka
adalah tandem terbaik dalam bertualang. Kesempatan untuk berkumpul bersama
menjadi momen sakral lantaran masing-masing kami berasal dari negara yang
berlainan. Ya, traveling telah menyatuhkan kelima pria muda beda negara menjadi
sahabat sekaligus saudara. Menunggu reuni setahun sekali ibarat menanti hadiah
lotre.
Kami memilih berpelesir ke
Lombok bukan tanpa alasan. Selain letaknya yang bertetanggaan dengan Bali,
pulau ini masih menjanjikan kealamian dan kesenyapan dalam bentang alam nan
molek. Pamornya belakangan melambung sebagai surga baru bagi para backpackers.
Dia memiliki jalinan pulau-pulau kecil yang sudah ternama, budaya Sasak nan
kentara, dan gunung tertinggi kedua di Indonesia berpanorama aduhai.
Begitu kapal menumpahkan
penumpang, kami pun melesat beriringan mengendarai sepeda motor yang kami bawa dari
Bali. Pagi di Lombok adalah sawah-sawah hijau keemasan yang menguapkan kabut
tipis putih, segelintir kendaraan yang dipacu lamban, dan siluet kubah-kubah
mesjid bermodel bawang yang menunjukkan kesakralan mereka antara bayangan gunung
serta pepohonan.
KUTA
YANG RAMAH
Sasaran utama kami adalah
wilayah selatan Lombok, dimana teluk dan tanjung menyembunyikan hamparan pasir
putih lembut. Bukan cuma itu saja, ombak lautnya sudah bukan rahasia lagi merupakan
incaran para penggila surfing.
Kuta adalah kantong wisata
Lombok selatan. Letaknya persis di bibir pantai. Orang bilang daerah ini lebih hippie, lebih bohemian ketimbang
Kuta-nya Bali. Ketika kami tiba, tempat ini memang tampilannya masih bersahaja,
tanpa kesibukan yang berarti meski bangunan-bangunan ladang bisnis
pariwisatanya nyata. Orang-orang menatap pelancong laiknya musafir, bukan sebagai
sasaran empuk untuk diporoti dompetnya. Tegur sapa terjalin apa adanya.
Pemilik GR House, tempat
kami menumpang tidur, milik seorang wanita paru baya keturunan Bali. Dia hanya
meminta Rp. 150.000 per orang untuk penginapannya yang masih baru dilengkapi kolam
renang serta Wifi. Dengan rendah hati, dia juga membeberkan rumah makan mana
saja yang baik meski restorannya sendiri tak juga buruk. Bagi saya, inilah Kuta
yang ramah.
Pantai di Kuta di peluk
oleh dua bukit, dan di belakang bukit-bukit itu pantai-pantai lain yang tak
kalah bagusnya berdiam menunggu dijejaki. Kami memutuskan untuk mula-mula
mengeksplor area timur. Pantai Mandalika langsung menyihir mata lewat laut
berwarna pirus bening. Apalagi pasirnya yang menyerupai biji-biji buah Jambu Klutuk.
Tidak ada siapa-siapa selain kami, padahal garis pantai ini amat panjang.
Pantai Tanjung Aan beda
lagi, kendati hanya beberapa menit beranjak dari Pantai Mandalika. Disini
pasirnya nyaris sama seperti tepung beras. Halus dan begitu putih. Musim angin
menggiring orang untuk bermain Kitesurfing,
olahraga yang memadukan kemahiran meluncur di atas ombak sembari
berjumplitan berpegangan pada parasut. Ada sebuah batu besar berbentuk cendawan
yang kerap disebut Batu Payung terletak agak tersembunyi di kampung Padau.
Keunikan formasi batu itu tak pelak menjadi sasaran fotografi maupun lokasi
syuting iklan komersil.
Kira-kira empat kilometer
lagi ke arah timur, Pantai Bumbang menghadirkan nuansa lain lewat penambakan
lobster. Ratusan tangkar mengambang seperti rakit dan para penambak hilir mudik
dengan sampan mungil. Mereka memeriksa lobster yang hasil panennya
diperdagangkan ke luar Lombok. Karang tinggi pantai ini tak luput dari incaran
penyuka panjat tebing.
MENGANTAR
SURYA BERSAMA OMBAK
Puas di sisi timur Kuta,
kami beranjak ke sisi berlawanan. Rute menujuh ke pantai-pantai sebelah barat ini
lebih spektakuler lantaran topografinya yang berbukit-bukit. Pelintasan cukup
mulus. Sepinya jalan ditimpali oleh tanjakan maupun turunan yang meliuk-liuk
membawa kami pada sensasi petualangan alam. Terus terang saya menyukai jalur ini,
terlebih bila melaluinya sendirian saat temaran.
Pantai Mawun menghiptonis
kami dengan bentang pasir putihnya yang panjang dan berentuk cekungan bagai
bulan sabit. Bukit lancip di sebelah kanan jadi tanduknya, sebatang pohon gagah
rindang berperan sebagai peneduh, dan segelintir warung minuman dingin yang
menjaga jarak.
Kami tergoda untuk bermain surfing ketika tiba di Pantai Selong
Belanak. Jangan tanyakan rupa pantai ini, Selong Belanak punya daya pikat tak
ubahnya pantai-pantai di Brazil. Lekukan pantai, gulungan ombak, dan lapisan
bukit demi bukit nan fotogenik menahan siapapun untuk bertahan disini hingga
malam mengambang. Pesisir barat seperti ini adalah tempat ideal yang
menyatuhkan ombak dan para peselancar untuk bermain bersama sembari menghantar
surya tenggelam di kaki langit.
Titik terakhir yang kami
datangi yakni Pantai Mawi. Saya terpaksa menarik kembali anggapan bahwa Pantai
Selong Belanak adalah yang paling bagus. Nyatanya, Pantai Mawi lebih karismatik.
Ia tenang namun liar, hening namun dramatis. Pantai ini punya dua teluk,
sebelah kanan menjadi tempat adu nyali peselancar level menengah, sedangkan
sebelah kiri lebih pantas jadi pantai berbulan madu. Teluk yang kedua memang
jarang didatangi. Anehnya siput, kerang, dan koral yang terdampar di pantainya
didominasi oleh warna ungu. Seandainya ada yang mencari pantai romantis, inilah
yang paling tepat. Tapi semestinya tak
saya beritahu keberadaan pantai yang satu ini. Seharusnya saya simpan untuk
kami sendiri. Oh, saya mungkin terlanjur mabuk terbuai pesisir selatan Lombok.
Maaf.
***
Valentino Luis (copyright 2014)
Sebagaimana yang dimuat dalam Majalah Batik edisi Agustus 2014
Valentino Luis (copyright 2014)
Sebagaimana yang dimuat dalam Majalah Batik edisi Agustus 2014
Comments