National Geographic Traveler - Januari 2014



KHASANA DI
LINTANG DELAPAN DERAJAT

Teks dan Foto oleh VALENTINO LUIS







“SELAMAT DATANG,” sapa ramah Paulina ( 50 tahun) menyambut saya di depan pagar tembok berlabur merah berhiaskan grafis etnik. Saya membalas sapaannya lantas mengekori langkahnya memasuki halaman yang tampak sepi. Ketika ia membuka pintu gedung bertulis ‘Ruang Pameran,’ hawa dingin menyeruak keluar seolah lama terkurung. Pencahayaan dalam ruang itu tak cukup, jadi ia menekan sakelar penghidup lampu. Seketika terang benderang. Namun tak berselang lama, ruangan kembali suram. Ia menekan sakelar beberapa kali lagi. Nihil.
“ Rusak. Perluh diganti baru. Maaf,” kata Paulina dengan wajah gundah.
“Tak apa. Biarkan saja pintunya terbuka lebar. Semua benda masih bisa diamati,” suaraku menimpal. Dalam remang, pandangan saya sudah terjurus ke jejeran lemari kaca. Oh itu dia, tak salah lagi, disanalah tersimpan pusaka yang saya cari!

DALAM PETUALANGAN, terkadang satu peristiwa kecil yang terjadi secara kebetulan bisa membawa kita kepada sebuah eksplorasi baru. Hal demikian terjadi juga pada saya kali ini. Tujuan saya terbang ke Alor sebetulnya untuk menjajal pesona bawah laut. Kenalan saya, Marie Schumann, sempat berkoar seputar pengalamnnya menyelam di perairan kabupaten kepulauan di timur Nusa Tenggara ini dan mengolok-olok saya yang memuja terumbuh karang pada sebuah lokasi penyelaman di Tanah Air yang menurutnya ‘terlalu dibesar-besarkan.’ Sebagai amatiran, dengan mudahnya saya termakan kata-kata Marie.

Saya pun tiba di Kalabahi – ibukota Alor- tanpa harapan lain selain menjadikannya semata persinggahan sebelum berlayar menujuh lokasi penyelaman. Tak dianya, baru beberapa menit seusai mendarat di bandara Mali, sebuah kejadian singkat mengubah agendaku: arakan massa memperlambat laju kendaraan kami. Upacara peminangan, katanya. Yang menyita perhatianku yakni empat pria yang masing-masingnya memikul benda berbentuk mirip kendang kebar tapi dari metal.







“Itu Moko namanya. Drum perak dari jaman purba. Digunakan sebagai mahar atau belis, barang berharga pemberian calon mempelai pria bagi keluarga calon istri,” Patris Sasi, sopir kami menjelaskan. Saya manggut paham dan tergelitik untuk tahu lebih.

“Coba singgahlah ke Museum 1000 Moko di pusat kota Kalabahi. Disana banyak tersimpan koleksi Moko. Pasti banyak informasi seputar Moko yang dapat kamu himpun,” saran Patris. Saya tiba-tiba merasa yakin, waktu saya di Alor tak hanya bakal habis di laut saja.  




PAULINA, YANG TAK LAIN adalah petugas Museum 1000 Moko, gantian mengekori saya yang termangu di hadapan lemari kaca. “Biar jelas, saya keluarkan mereka dari lemari, Dik. Anggap saja kompensasi atas kurangnya pencahayaan di museum kami,” katanya lembut. Hati saya melonjak girang.

“Nama Alor barangkali asing bagi kebanyakan orang, namun tidak bagi para arkeolog. Puluhan tahun sudah daerah ini menjadi tempat penelisikan budaya, khususnya persebaran budaya Dong Son, peradaban paling berpengaruh di Asia Tenggara,” urai Paulina. “Salah satu bentuk kriya hasil peradaban Dong Son adalah drum perak, yang dikenal luas dengan sebutan nekara. Di Alor sini nekara-nekara Dong Son dinamakan Moko dan selama berabad-abad menjadi harta terpendam. Dari semua wilayah Asia Tenggara yang mendapat pengaruh kebudayaan Dong Son, Alor seolah terpilih menjadi gudang penyimpanannya.”

Saya tidak menyangka, Dong Son yang berpusat di utara Vietnam nan jauh ternyata meluaskan pengaruhnya hingga ke selatan Indonesia. Keluarga dan suku-suku asli Alor menjadikan Moko sebagai benda pusaka. Tak peduli pada kontroversi dunia arkeologi tentang bagaimana drum perak itu tiba, orang Alor memegang keyakinan sendiri bahwa Moko adalah pemberian dari bumi, datang begitu saja dari tanah.





“Masalahnya, hingga kini selalu terdengar kabar penemuan Moko dari dalam tanah oleh warga. Kebanyakan secara tak sengaja saat mencangkul kebun atau menggali subur atau kuburan. Makanya lumrah saja kalau penduduk memiliki keyakinan demikian,” Paulina memberi opini. Ia mengeluarkan empat nekara dari lemari, memperbolehkan saya merabah dan memotretnya.

Paulina sangat antusias berkisah tentang nekara. Kami akhirnya terpekur cukup lama pada sebuah nekara paling besar. “Yang ini pun ditemukan seorang petani dari dalam tanah pada tahun 1972, berdasarkan mimpi gaib yang datang kepadanya berulang kali. Dua tahun setelah ditemukan, nekara ini diboyong ke Kupang dan dipajang selama 28 tahun disana. Sejumlah ahli mengatakan bahwa nekara ini adalah salah satu nekara terbesar di dunia yang pernah ditemukan,” bebernya.

Valentino Luis (Copyright)

***
Cuplikan artikel di atas dimuat di Majalah NATIONAL GEOGRAPHIC TRAVELER edisi Januri 2014. Sebanyak 12 Halaman.
Simak lebih detail di:

Comments

Popular posts from this blog

Travelxpose Magazine - Februari 2014

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler - Desember 2012

National Geographic Indonesia (NatGeo) Traveler- Juli 2012